Mengungkap Cermin Budaya Nusantara

Perlu 3 kali membaca buku Kode-kode Nusantara yang ditulis oleh Hokky Situngkir, pendiri Sobat Budaya dan Direktur Bandung Fe Institute. Setiap kali selesai membacanya, selalu ada saja hal terngiang  antara isi buku dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi pada kehidupan pribadi, juga pada negeri ini. Saya malah berkesimpulan bahwa masa atau era atau tahun hanyalah latar belakang. Ada yang lebih bermakna dari itu, yaitu manusia, perjalanan, dan pengetahuannya yang membentuk kecerdasan.

Pemikiran-pemikiran bangsa luar, seperti  cendiakawan, seniman, sastrawan, budayawan, dan lainnya pada masa lalu tak kalah besar dengan pemikiran nenek moyang kita. Yang sederhana, organis, sabar, berbagi kekayaan intelektualitas dan memahami apa yang terjadi pada bumi dan sekitarnya, tidak hanya untuk saat itu, tapi masa depan generasi berikutnya. Termasuk ‘perpustakaan’ Candi Borobudur.  Relief-relief yang melapisi tubuhnya ibarat lembar-lembar buku yang betebaran dari lantai bawah sampai puncak stupa. Yang memiliki plot filosofis berliteratur dan menjadikannya perpustakaan besar bernilai seni tinggi.

Candi Borobudur tidak hanya untuk umat Budha maupun ritual religi, dari undak paling tinggi, kajian arkeo-astronomi menunjukan adanya fungsi penanda waktu pada aspek pertanian. Seperti halnya Situs Megalitikum Gunung Padang yang hanya dianggap sebagai tempat ritual maupun mistik padahal ada pengetahuan arkeo-astronomi dan temuan menarik, 2 kelompok bebatuan  yang mengeluarkan nada denting berfrekuensi tinggi 2683-5171 HZ yang selaras dengan nada “F”, “G”, “D”, dan “A”. Fungsi dari batu bernada dan arti letak susunan bebatuan Situs Gunung Padang terkuak oleh hasil penelitian sains budaya yang ditumpahkan ke dalam Buku Kode-kode Nusantara.

Stupa Candi Borobudur

Pada buku ini terpapar Borobudur yang merupakan bangunan tiga dimensi, namun dapat memberikan ‘pengalaman’ dua dimensi. Pola-pola pada bentuk motif dasar batik dan brokoli, mempunyai kemiripan dengan bentuk cabang-cabang penyusunnya, arsitektur simetri yang mirip dengan dirinya sendiri.

Bicara cara berpikir masyarakat yang membangun Candi Borobudur tak lalai dikupas. Cara berpikir  meletakan blok-blok batu menjadi megastruktur kompleks nan indah dibawa ke masa modern, di mana para arsitek dan insinyur sipil membangun megastruktur yang serupa dengan geometri, matematika, dan komputasi. Orang-orang pada abad ke-8 yang membangun Borobudur berpikir secara sederhana dan tanpa geometri, matematika, dan komputasi.  Pengetahuan mereka lebih ‘canggih’ dan sederhana ketimbang manusia modern saat ini. Rahasia mereka adalah dengan mengakuisisi teknik proses kerja dari aturan sederhana, yang terbukti  menghasilkan pola arsitektur kompleks.

Sampai di sini, saya teringat kembali kosakata ‘sederhana’. Kerap hal berbau kompleksitas tidak serumit benak kepala.

Latar Belakang Penelitian Budaya

Informasi era teknologi modern dapat ditemukan secara mudah namun masih ada yang berceceran tak tertata bahkan belum diangkat ke masyarakat luas. Adanya pengetahuan budaya dan kecerdasan kolektif yang beragam, memicu penulis dan teman-temannya melakukan penelitian selama 14 tahun lebih dan dituangkan ke dalam buku ini. Malah penulis sejak kecil telah mengamati ketukan-ketukan bunyi dan bahasa yang keluar dari lagu-lagu tradisional maupun modern.

Karena lagu bagian dari budaya,  pola-pola lagu Nusantara ‘disenandungkan’ dalam buku ini. Selain itu, 1070 data lagu daerah Nusantara (dari Aceh sampai Papua) dikumpulkan, dipilih dan dituangkan dalam aplikasi digital “IndoMuse”.   Sekitar 600 lagu tradisional dikalkulasi sekuen melodi, efek putaran dan spiral, hingga struktur dan pengorganisasian nada-nadanya. Ada aplikasi lagu tradisional, ada pula fraktal batik dan kuliner Nusantara. Sayangnya Kode-kode Nusantara belum memasukan kuliner ke dalam buku ini. Semoga buku yang kedua.

Buku Kode-kode Nusantara yang ditulis Hokky Situngkir merupakan rangkuman data yang telah diteliti teman-teman Bandung Fe Institute bersama Sobat Budaya. Selain aplikasi dan website, mereka ingin sekali menyebarkan wawasan budaya kepada masyarakat luas melalui buku.

Bagi saya mempelajari warisan kekayaan leluhur turun-menurun, seperti mencoba memahami diri,  manusia,  dan semesta. Apa tujuan hidup saya sesungguhnya, apa tujuan saya menulis yang sebenarnya, bagaimana saya mencintai dia tanpa mengikat, bagaimana saya berbagi kebahagiaan atau paling tidak senyuman untuk orang lain, bagaimana saya mengolah perasaan, bagaimana saya menjadi kreatif, berpikir luas, dan positif, bagaimana saya mencintai dan dicintai manusia dan semesta…

Apa yang ada dalam buku Kode-kode Nusantara bagai ratusan peluru yang menembaki seluruh saya. Termasuk menerobos ruang waktu, pada saat belajar berjalan, beradaptasi dengan teman-teman baru di sekolah, membaca puisi, buku-buku yang pernah saya baca, belajar menari Bajidor Kahot mendengarkan Eyang berkisah Srikandi, ucapan-ucapan Kakek-Nenek soal hidup dan mimpi, asal muasal, memerhatikan Iyem membuat kunyit untuk saya sejak  kecil, juga perjalanan hidup panjang yang membuat saya membenci ingatan.

Sebab, semuanya bermakna dan saling berkaitan.

Disadur dari tulisan Sari Novita dan telah dimuat di Indonesia.tempo.co pada 21 Januari 2017

Leave a Reply