UPAYA MENJADI PANCASILAIS

Resensi Buku Wawasan Pancasila Edisi Komprehensif

Bisa jadi membicarakan Pancasila adalah salah satu perkara menjemukan. Setidaknya dengan bahasan yang melulu berkutat pada persoalan ideologi dan jauh dari realitas. Namun, bagaimanapun juga, pembumian Pancasila masih menjadi tantangan besar. Apalagi Pancasila kini dihadapkan pada beberapa ideologi yang beririsan maupun secara frontal berlawanan.

Muncullah buku Wawasan Pancasila: Bintang Penuntun untuk Pembudayaan karya Yudi Latif. Sebab, menurut sang penulis, ibarat budi daya tanaman, laju pertumbuhan Pancasila tidak dengan sendirinya akan berjalan baik-baik saja, tanpa kesengajaan merawatnya dengan sepenuh jiwa secara berkelanjutan.

Buku ini diawali dengan serangkaian kalimat menohok dari pemikir besar Indonesia, Driyarkara.

Pancasila adalah soal keyakinan dan pendirian asasi. Pancasila tidak akan tertanam dalam jiwa kita sendiri masing-masing bila tidak berjuang. Baik untuk masyarakat dan negara maupun untuk setiap individu, usaha penanaman Pancasila harus berjalan terus-menerus, tak ada hentinya. ‘Tak seorang pun akan menjadi Pancasilais kalau dia tidak membuat dirinya Pancasilais’ (hlm 1).

Konsekuensi logisnya, Indonesia tidak akan menjadi negara Pancasila jika tiap-tiap warga negara tidak membuatnya secara terus-menerus. Jika ada anggapan Pancasila beku nan kaku, penulis membantahnya. Hendaklah diingat bahwa Pancasila bukan hanya dasar statis, melainkan juga bintang penuntun yang dinamis-yang mesti responsif terhadap dinamika sosial dan global. Artinya, segalanya bisa direspons dengan Pancasila, mulai soal demokrasi, ekonomi, budaya, hingga agama.

Menjadi Pancasilais

Penulis juga memberi ruang khusus untuk kritik ideologis Pancasila guna membedah meningkatnya kecenderungan eksklusi sosial yang menampakkan dirinya dalam aneka bentuk kekerasan sosial berbasis fundamentalisme keagamaan, populisme, tribalisme, premanisme, serta sentimen kelas sosial.

Boleh dikata, tataran elite mungkin sudah bersepakat dengan Pancasila yang diwujudkan dalam pernyataan. Sayangnya, kesepakatan itu hanya di bibir berupa klaim-klaim kosong.

 ‘Pancasila sebagai filsafat, pandangan dunia, norma dasar, ideologi negara, dan paradigma pembangunan lebih sering didaku (diklaim) ketimbang diamalkan’.

Bahayanya, hanya ucapan nan mengawang yang justru melahirkan sinisme dan melunturkan kepercayaan umum terhadap kekuatan Pancasila. ‘Berbagai persoalan bangsa sekarang ini merupakan pantulan dari kelalaian bangsa Indonesia untuk membudayakan nilai-nilai Pancasila’ (hlm 423).

Namun, kembali lagi, landasan awal dari pembudayaan Pancasila adalah kecerdasan kehidupan bangsa. Itu karena Pancasila sebagai filsafat negara sulit dibudayakan dalam suatu kehidupan negara-bangsa dengan basis kecerdasan yang lemah.

Buku setebal lebih 400 halaman ini adalah edisi komprehensif dari judul sama yang terbit pada 2018. Namun, edisi kali ini menyajikan bahasan yang lebih lengkap dengan banyak tambahan. Hal itu menjadikan buku ini layak dibaca oleh para pegiat studi Pancasila, pengaku Pancasilais, bahkan pencela Pancasila sekalipun. (Zuq/M-4)


Artikel ini diambil dari Media Indonesia edisi 12 September 2020


Leave a Reply