Refleksi Yudi Latif: Kebangkitan Pascakorona

Kebangkitan acapkali bertolak dari krisis dan keterpurukan. Kebangkitan renaisans di Eropa meroket dari landasan pacu zaman kegelapan. Kebangkitan nasional Indonesia awal abad ke-20 berangkat dari krisis sosial-ekonomi dampak rezim perekonomian liberal akhir abad ke-19. Katastrofi ibarat derita ibu hamil yang mengandung anak kemajuan.

Kelahiran Budi Utomo (BU), 20 Mei 1908, ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan (Kebangungan) Nasional oleh Presiden Soekarno sejak 1948, dalam ikhtiar untuk menggalang persatuan nasional, tatkala Republik muda yang harus menghadapi agresi Belanda justru dirundung perpecahan politik. Alasan memilih BU kemungkinannya karena merupakan organisasi pergerakan modern yang moderat, yang dalam usaha mentransformasikan dirinya menjadi partai politik tak berkelanjutan. Sehingga tidak menjadi bagian dari pihak-pihak yang bersengketa di masa revolusi.

Apapun alasannya, penetapan BU sebagai penanda kebangkitan itu harus dilihat sebagai pars pro toto; menunjuk salah satu untuk menggambarkan keseluruhan kemunculan berbagai organisasi sejenis yang memperjuangkan kemajuan awal abad ke-20. Lepas dari itu, kelahiran BU dan organisasi lain semasanya itu tidaklah bergerak dari ruang hampa, melainkan bertolak dari krisis sosial-ekonomi dan di atas jalan pergerakan yang telah diratakan oleh para perintis.

Menurut teori gerakan sosial, kemunculan pergerakan itu melewati semacam siklus kehidupan, mulai dari fase pembenihan, pembentukan, dan konsolidasi. Gerakan sosial jarang muncul spontan; melainkan memerlukan masa persiapan yang panjang. Tak ada gerakan sosial yang muncul hingga menemukan suatu peluang politik yang tersedia, suatu konteks problem-problem sosial dan juga suatu konteks komunikasi, yang membuka kesempatan bagi pengartikulasian problem dan penyebarluasan pengetahuan (Eyerman dan Jamison, 1991).

kebangkitan budi utomo

Sebagai gerakan sosial, kebangkitan nasional menemukan masa pembenihannya sejak akhir abad ke-19, sebagai ekses politik pendidikan rezim liberal. Dalam usahanya memperluas birokrasi pendukung bagi industri perkebunan, rejim liberal memerlukan sekolah keguruan untuk menyiapkan tenaga teknis. Maka dari itu, institusi pendidikan modern yang pertama kali dididirikan adalah sekolah pelatihan guru pribumi (kweekschool); dimulai di Surakarta pada 1851/1852, disusul beberapa sekolah serupa baik di dalam maupun di luar Jawa terutama setelah 1870.

Hingga akhir abad ke-19, peran guru dalam mempromosikan wacana kemadjoean sangatlah menonjol, setidaknya karena dua alasan. Profesi guru hingga masa itu menghimpun porsi terbesar dari orang-orang pribumi berpendidikan terbaik, dan sebagai pendidik merasa terpanggil untuk mengemban misi suci untuk mencerahkan saudara-saudara sebangsanya. Selain itu, profesi guru kurang dihargai dibanding posisi administratif, sehingga menstimulasi mereka untuk menjadi artikulator konsep ‘kemadjoean’, dalam rangka menjadikannya sebagai tolok ukur baru dalam menentukan privilese sosial.

Gagasan kemadjoean dan kritik kaum guru terhadap kondisi yang ada diartikulasikan melalui media cetak dan berbagai perkumpulan yang mereka dirikan, seperti Soeloeh Pengadjar (sejak 1887) dan Taman Pengadjar (sejak 1899), berserta perkumpulan guru yang paling berpengaruh,‘Mufakat Guru’, dengan keanggotaan di berbai kabupaten di Jawa.

Hampir bersamaan dengan itu, pada tahun-tahun terakhir abad ke-19, perekonomian liberal yang dikembangkan dengan eksploitasi yang kejam atas buruh Indonesia mengalami krisis akut. Krisis berkelanjutan dalam kehidupan sosial-ekonomi terjadi akibat stagnasi ekonomi, kegagalan panen, penyakit ternak, kelaparan dan kerentanan kesehatan akibat gizi buruk dan berbagai wabah penyakit.

Beragam katastrofi sosial itu lantas menciptakan iklim opini dan atmosfir politik baru di negeri Belanda. Partai-partai cenderung mendukung aktivitas negara dalam persoalan ekspansi dan efisiensi perekonomian, termasuk perbaikan kesejahteraan di tanah jajahan. Lewat pemilihan umum tahun 1901, Partai Kristen tampil sebagai pemenang, menjadikan liberalisme sebagai kredo usang, digantikan oleh politik etis.

Di bawah Politik Etis, educatie (pendidikan), irrigatie (irigasi) dan ëmigratie (transmigrasi) menjadi prioritas program kesejahteraan, dengan pendidikan dipandang sebagai hal yang paling esensial. Di mata bapak gerakan Etis, Th. Van Deventer, meningkatnya kesejahteraan kaum pribumi sulit dicapai tanpa adanya personel pribumi yang cukup terlatih untuk bisa menjalankan tugasnya. Lewat pendidikan, Ia memimpikan kelahiran kembali Hindia.

Di bawah rejim pendidikan etis, pada 1900-1902, sekolah Dokter-Djawa, yang berdiri sejak akhir abad ke-19, diubah menjadi School tot opleiding Van inlandsche artsen (STOVIA). Lama belajar diperpanjang menjadi enam tahun tahap inti pengajaran kedokteran (Geneeskundige), setelah mengikuti tiga tahun masa persiapan, yang membuatnya setara dengan tingkatan awal perguruan tinggi.

Hal ini menempatkan STOVIA sebagai jenjang pendidikan tertinggi yang tersedia di Hindia awal abad ke-20. Sejumlah mahasiswa dari sekolah inilah yang melanjutkan tongkat estafet kemadjoean dari kaum guru, dengan mendirikan BU.

Semangat Perubahan

Gerakan kebangunan yang diperjuangkan Sutomo dan kawan-kawan itu tidaklah datang secara tiba-tiba, melainkan hasil usaha sadar untuk belajar dan berjuang. Dari manakah usaha kebangkitan nasional itu harus dimulai? Dari semangat zaman (zeitgeist) yang menyadari bahwa perubahan suatu kaum tidak akan terjadi hingga kaum itu mengubah alam kejiwaan yang memancarkan fajar budi. Kesadaran itu bukan hanya tercermin dari kelahiran “Budi Utomo” (keutamaan budi), tetapi juga organisasi sejaman, seperti Jamiat Khair (perkumpulan kebajikan budi), dan juga Tri Koro Dharmo (tiga tujuan mulia: sakti, budi, bakti). Singkat kata, budi pekerti dijadikan tumpuan utama kebangkitan dan kemajuan.

Menurut Ki Hadjar Dewantara, “budi” mengandung arti “pikiran, perasaan dan kemauan”; pekerti artinya “tenaga”. Dengan demikian, “budi pekerti” itu sama dengan “budi daya” (budaya). Pendidikan budi-pekerti mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan dan tekad-kemauan manusia yang mendorong kekuatan tenaga yang dapat melahirkan penciptaan dan perbuatan yang baik, benar dan indah.

Pendidikan budi pekerti mengupayakan bersatunya pikiran, perasaan yang mendorong lahirnya perbuatan baik dan benar

Ki Hadjar Dewantara

Mengingat masyarakat Indonesia merupakan masyarakat religius, jalan menuju keutamaan budi itu bisa ditempuh dengan menguatkan etos (elan vital) keagamaan. Memang, ada faktor budaya yang dipengaruhi oleh agama yang menjadi rintangan kemajuan. Akan tetapi, beberapa penelitian juga menunjukkan kontribusi penting faktor keyakinan terhadap kemajuan ekonomi dan demokrasi.
Dalam kerangka kebangkitan, ledakan spirit keagamaaan yang membuncah hendaklah tidak berhenti sekadar ekspresi formalisme dan amarah jalanan. Gairah keagamaan harus menyentuh kedalaman yang lebih substantif: mempersoalkan basis etis-spiritualitas kemajuan bangsa.

Agama bisa memainkan penting dalam pemulihan krisis sekiranya persoalan agama tidak berhenti pada apa yang kita percaya, melainkan terutama pada apa yang kita perbuat. Untuk itu, agama tidak perlu meninggalkan kepercayaan dan ritualnya, tetapi perlu lebih menekankan pentingnya visi spiritualitas dan komitmen etis di jantung masyarat.

Modus beragama yang berhenti sebagai pemujaan lahiriyah formalisme peribadan, tanpa kesanggupan menggali batiniyah nilai etika-spiritualitas hanyalah berselancar di permukaan gelombang bahaya. Tanpa menyelam di kedalaman pengalaman spiritual, keberagamaan menjadi mandul, kering dan keras. Tanpa daya-daya kontemplatif dan kemampuan berdamai dengan misteri dan ketidakpastian, orang-orang beragama bisa memaksakan absolutisme sebagai respons ketakutan atas kompleksitas kehidupan dunia, yang menimbulkan penghancuran ke dalam dan ancaman keluar.

Pemulihan krisis kehilangan basis kepercayaannya ketika agama yang seharusnya membantu manusia untuk menyuburkan rasa kesucian, kasih sayang dan perawatan, justru memantulkan rasa keputusasaan dan kekerasan zaman dalam bentuk permusuhan dan penyingkiran.

Nasionalisme Progresif

Agen utama dalam menggerakan kebangunan budi ini adalah kaum muda. Pendirian BU merupakan percobaan berani dari minoritas kreatif pada zamannya untuk bangkit dari keterbelakangan dan keterjajahan dengan memperjuangkan gerakan kemajuan. Gerakan kemajuan yang dipelopori oleh para pemuda (berusia antara 19-21 tahun) itu dilakukan utamanya melalui pemupukan modal budaya (pengajaran, kebudayaan): mengupayakan akses pendidikan yang lebih luas bagi kaum pribumi, penggalangan beasiswa (studiefond), dan revitalisasi budaya.

Pemupukan modal budaya itu kemudian diperkuat oleh modal politik dengan berusaha melahirkan kepemimpinan baru. Dengan melancarkan kritik terhadap kegagalan kepemimpinan lama dalam melindungi kepentingan rakyat, BU pada awalnya berusaha menghadirkan kepemimpinan baru, dengan menerapkan manajemen modern yang mengandalkan keunggulan “pikiran” (meritokrasi) ketimbang keturunan. Langkah-langkah rintisan BU ini, lewat persambungannya dengan gerakan-gerakan kebangkitan yang lain, melahirkan gelombang perubahan berskala nasional yang mumbuka jalan bagi kebangkitan dan kemerdekaan Indonesia.

Dengan belajar dari sejarah, kita bisa bercemin betapa pentingnya prasyarat budaya (mental-karakter) bagi kebangkitan nasional. Meski demikian, corak mentalitas yang diperlukan untuk kembangkitan nasional hari ini sudah barang tentu harus disesuaikan dengan tantangan nasionalisme kontemporer.

Dengan berlalunya kolonialisme, kita harus beringsut dari nasionalisme “negatif” (defensif) menjadi nasionalisme “positif” (progresif). Pengalaman penindasan, diskriminasi, eksploitasi, dan keterpinggiran memang pantas disesali, dikuliti dan dikremasi. “Tetapi manusia,” ujar Isiah Berlin, “tidaklah hidup sekadar untuk memerangi keburukan. Mereka hidup dengan tujuan yang positif, untuk menghadirkan kebaikan.”

Setiap lompatan besar dalam politik Indonesia selalu tertawan oleh masa lalu. Kebiasaan kita mengutuk masa lalu dengan mengulanginya, bukan dengan melampauinya, membuat perilaku politik Indonesia tak pernah melampaui fase kekanak-kanakannya (regressive politics). Untuk melampaui masa lalu diperlukan konsepsi nasionalisme (patriotisme) yang lebih progresif. Nasionalisme yang tidak cuma bersandar pada apa yang bisa dijebol dan dilawan, melainkan juga pada apa yang bisa dibangun dan dikembangkan. Proyek historisnya bukan hanya mempertahankan melainkan juga memperbaiki keadaan negeri.

Kita bisa belajar dari pengalaman Jerman dan Jepang. Sebagai pihak yang kalah dalam perang, ada masanya kebanggaan nasionalisme “negatif” (defensif) mereka ambruk. Setelah Perang Dunia II, banyak orang Jerman tak percaya diri menyanyikan lagu kebangsaan mereka. Namun, kedua bangsa itu segera bangkit, dengan cara beringsut dari nasionalisme negatif ke nasionalisme progresif. Energi perangnya disalurkan menjadi energi positif, melalui pengembangan teknologi dan industri sipil, seperti mobil, permesinan, produk-produk elektronika, obat-obatan, yang sangat kompetitif di pasar internasional.

Kebahagiaan, kesejahteraan dan kemajuan menjadi produk terpenting dari nasionalisme progresif. Dalam konteks itu, wabah korona merupakan momen penelanjangan kesejatian kita. Negara dengan kelimpahan bahan obat-obatan tak mampu memenuhi obat dan alat-alat kesehatan bagi warganya.

Berlokasi di kawasan tropis dengan kelimpahan aneka bahan pangan tak bisa menghasilkan kedaulatan pangan. Lautan yang luas tak bisa memenuhi garam dan protein. Saat diperlukan kekompakan, para pejabat justru adu silang pendapat. Lebih buruk lagi, ada yang mendulang keuntungan dengan cara manipulatif dari situasi kebencanaan.

Strategi Kebudayaan

Untuk bisa mendekatkan antara harapan dan kenyataan, diperlukan ketepatan strategi kebudayaan yang dapat membangun hubungan yang proporsional antara tujuan (ends) dan sarana (means), antara aspirasi dan kapabilitas. Dalam kaitan itu, diperlukan kekuatan refleksi diri, yang dapat menyatukan pikiran dan hati dalam spirit.

Kita perlu melakukan penilaian sendiri (self-appraisal) secara jujur

Yudi Latif

Dengan menyatu dalam spirit, kita bisa keluar dari lorong gelap menuju jalan cahaya dengan menempuh sejumlah langkah. Kita memerlukan pengakuan bersama akan adanya krisis di berbagai bidang. Tanpa ketulusan dan kesepakatan adanya krisis, kita tidak akan bisa mengatasi masalah. Selanjutnya, kita harus membuat pagar pemisah, yang secara apik memilah antara aspek-aspek yang sudah baik dan sisi masalah yang perlu solusi.

Kita perlu melakukan penilaian sendiri (self-appraisal) secara jujur. Jangan mengecoh diri dengan rekayasa pencitraan yang membesar-besarkan pencapaian kecil. Kita bisa belajar dari pengalaman sejarah bangsa sendiri dalam mengatasi krisis dan kegagalan di masa lalu. Kita juga bisa belajar dari model negara-negara lain dalam mengatasi masalah, untuk disesuaikan dengan konteks spesifik negara kita. Jangan lupa, situasi krisis juga memerlukan penguatan identitas nasional dengan merevitalisasi komitmen pada nilai-nilai inti (core values) kebersamaan (Diamond, 2019).

Akhirnya, kita harus berhenti sekadar meratapi kegelapan. Gelap tak bisa disingkirkan dengan gelap; gelap hanya bisa dienyahkan oleh cahaya. Jutaan kunang-kunang yang serempak menyalakan cahaya budi, akan memancarkan gelombang pencerahan, sebagai penuntun bangsa ini ke arah kebangkitan.

yudi latif wabah
Artikel ini ditulis oleh Yudi Latif dan telah terbit di harian Kompas

Leave a Reply