Mengasuh Tanpa Marah, Bisakah?

Pola asuh orang tua zaman dulu pada umumnya dianggap yang terbaik. Keberhasilan anak – anaknya di masa sekarang digunakan sebagai bukti bahwa gaya parenting itu sudah teruji kesuksesannya. Namun kehidupan di era yang serba terbuka saat ini memberikan orang tua muda informasi nyaris tanpa batas mengenai berbagai pola pengasuhan anak.  Menimbulkan rasa segan melalui hukuman sangat jarang menjadi pilihan utama.

Beragamnya gaya parenting bisa saja membuat orang  tua kebingungan dalam menentukan mana pola asuh yang paling sesuai dengan dinamika keluarga dan kepribadian anak mereka. Satu dari sekian banyak gaya asuh adalah Konsep Parenting Tanpa 3M (Tanpa Marah, Tanpa Memerintah, Tanpa Melarang).

Pada konsep yang pertama, yaitu Tanpa Marah, orang tua tidak lagi menunjukkan reaksi seperti seseorang yang sedang marah ketika menghadapi perilaku anak- anak. Secara tak sadar orang tua kadang terbawa emosi ketika anak tidak menuruti keinginan mereka. Reaksi fisik seperti suara keras dan raut wajah yang mengeras lantas muncul secara otomatis.

Kaitan Konsep Tanpa Marah dengan Otak

Konsep Tanpa Marah ini bukanlah sesuatu yang tidak saintifik. Rhenald Kasali, dalam bukunya Sentra: Membangun Kecerdasan dan Kemampuan Anak Sejak Usia  Dini  Demi Masa Depan yang Cemerlang, menuliskan bahwa metode ini berkaitan dengan ilmu syaraf otak atau Neuroscience. Kasali juga mengutip hasil penelitian Lise Eliot yang menerangkan bahwa pada bayi yang ketakutan, lapisan Myelin yang ada di dalam otaknya menggelembung seperti balon lalu pecah. Sedangkan Myelin adalah senyawa penting dalam komunikasi antar sel otak sehingga hal ini akan membawa dampak buruk bagi perkembangan otak anak.

Seorang Psikolog Klinis sekaligus penulis buku Peaceful Parent, Happy Kids: How To Stop Yelling and Start Connecting?, Laura Markham Ph.D.,meyakini bahwa respon yang lembut, tenang, penuh perhatian dan berempati pada anak jauh lebih baik daripada bersikap keras.

Sedangkan pada Tanpa Memerintah dan Tanpa Melarang, orang tua membebaskan anak melakukan yang mereka lakukan. Wismiarti Tamin, praktisi pendidikan Sentra, mengatakan, anak yang terbiasa disuruh atau dilarang layaknya robot yang hanya mengikuti perintah tanpa tahu apa maksud dari perintah tersebut. Hal itu akan mengganggu perkembangan critical  thinking anak. (Rhenald Kasali, 2019)

Pic: Freepik

Konsep ini mengajak  orang tua untuk menggunakan kalimat – kalimat yang lebih persuasif dan tidak asal melarang atau memerintah. Melalui hal ini diharapkan anak tumbuh dengan kesadaran dan bukan karena keterpaksaan. Cara – cara persuasif menawarkan berbagai pilihan pada alam sadar anak, sedangkan cara perintah mensugesti anak bahwa hal – hal tersebut adalah sebuah kewajiban yang kemudian akan terasa membebani.

Elliyati Bahri, Parental Coach dan pakar Neuro Linguistic Programming (NLP), menyatakan bahwa cara komunikasi dengan cara berteriak atau memerintah dengan suara melengking, akan membuat anak merasa tergores harga dirinya. Orang tua bisa menggunakan kalimat yang lebih ramah. Elli menambahkan, hanya dengan kelembutan, kasih sayang dan hanya dengan cinta, anak- anak akan menurut dan patuh pada orang tua, karena kesadarannya yang tumbuh dan bukan karena keterpaksaan.

Pada akhirnya, setiap orang tua hanya ingin yang terbaik untuk anak. Memberi mereka segala sarana untuk meyokong tumbuh kembang maksimal. Salah satunya adalah melalui pemilihan pola asuh atau parenting style yang tepat. Pendekatan Tanpa 3M mungkin bisa menjadi alternative  yang pas sebagai peaceful parenting demi mencapai perkembangan anak yang lebih positif.

-0-

Penulis: Hana Achmad

Leave a Reply