Membaca Harapan, Semangat dan Pikiran A.E Priyono

Resensi Oleh Cusdiawan (Mahasiswa Program Magister Ilmu Politik Universitas Padjadjaran)

Buku Menolak Matinya Intelektualisme yang dieditori oleh Usman Hamid dan Darmawan Triwibowo ini ditulis untuk mengenang dan sebagai bentuk penghormatan untuk aktivis prodemokrasi, yakni A.E. Priyono yang telah meninggal dunia. Buku tersebut merupakan kumpulan tulisan terseleksi AE Priyono, dan terdapat juga tulisan-tulisan dari para kolega almarhum.

Bila sekilas saya tafsirkan dari pemberian judul dalam buku tersebut, maka yang ada di kepala saya adalah bahwa sebuah pemikiran, termasuk di dalamnya cita-cita, keresahan dan sebagainya, akan tetap hidup, bahkan meskipun raga orang tersebut sudah meninggalkan kita.

Itulah yang sekilas saya pahami dari diksi pemberian judul tersebut, di mana sosok AE Priyono yang meskipun raganya sudah meninggalkan kita, akan tetapi pikiran-pikirannya akan tetap hidup. Lebih dari itu, dapat menjadi pengingat diri kita juga bahwa masih banyak dari perjuangan-perjuangannya yang perlu diteruskan, bahwa masih banyak masalah-masalah dalam kehidupan politk kita, yang barangkali hal tersebut sesungguhnya menjadi keresahan kita bersama, yang perlu untuk terus kita pikirkan dan usahakan untuk terwujudnya tatanan kehidupan politik yang lebih baik.

Menurut Usman Hamid, ada tiga tema besar yang menjadi pusat perhatian dan terpancar dari pemikiran A.E. Priyono, yakni demokrasi, hak asasi, dan Islam. Usman Hamid mengemukakan, AE Priyono percaya bahwa ketiga tema tersebut memiliki beragam nilai intrinsik kebajikan manusia, salah satunya adalah keadaban. Meskipun AE Priyono sendiri menyadari ketiga kaidah tersebut kerap melahirkan interpretasi yang diwarnai kesalahpahaman, kontroversi dan pertentangan (hlm.3).

Demokrasi, Hak Asasi dan Islam – merupakan Tiga dasar Pemikiran A.E Priyono

Bagi AE Priyono, ketiga tema tersebut selalu dalam ruang kontestasi yang tidak berkesudahan. Selama hidupnya, AE tidak pernah menemukan batas akhir yang konklusif di mana ketiga tema tersebut berjalan dalam keterpaduan. Bahkan, ketika ia kembali mendalami sufisme dan pemikiran Islam, ia tetap terlihat tidak menyerah untuk mencari titik perjumpaan pemikiran-pemikiran di balik tiga tema tersebut (hlm.4).

Usman Hamid pun menulis “sebagai anak zaman, A.E meyakini perubahan sosial memerlukan partisipasi politik berbasis kewargaan (civic activism). Tanpa itu, segala ajaran kebajikan dari demokrasi, hak asasi, dan Islam tetap membawa pada fakta pertentangan antarmanusia. Dia menyadari keniscayaan tersebut. Sehingga selalu berusaha menyajikan perjumpaan nilai-nilai kebajikan, yang dipeiknya dari berbagai tradisi pemikiran yang kerap saling bertentangan, demi memajukan ketiga tema yang diminatinya tersebut” (hlm.4).

Saya rasa, apa yang dikemukakan Usman Hamid (yang berangkat dari refleksinya atas pemikiran AE) memang sangat beralasan. Pertama, isu seputar ketidaksesuaian antara demokrasi dan Islam misalnya, sudah banyak dikaji dalam studi ilmu politik. Kita bisa melihat, misalnya saja yang terangkum dalam desertasi yang ditulis oleh Saeful Mujani, yakni Religious Democratis: Democratic Culture and Muslim Political Participation in Post-Soeharto Indoneisa (2003), dalam desertasinya tersebut, Saeful menulis bahwa ilmuwan seperti Huntington, Lewis, Gellner, Kedorie mempunyai kesimpulan bahwa Islam bertanggung jawab atas kelangkaan demokrasi di negara yang bermayoritas muslim (hlm.1-3).

Dengan kata lain, Saeful mengemukakan bahwa dalam kajian ilmu politik, ada pandangan-pandangan dari para ilmuwan yang menyebut bahwa pasca perang dingin, demokratisasi yang terjadi di dunia muslim tergolong minim, dan Islam dianggap menjadi faktor atas terjadinya fenomena tersebut (sebagai catatan, Saeful Mujani sendiri mengkritik Huntington dan lain-lain).

Kedua, berkaca pada pemaparan Usman Hamid, AE Priyono jelas menyadari hal tersebut, sehingga dikatakan bahwa hubungan antara “Islam, demokrasi, dan hak asasi’ kerap disalah pahami bahkan dipertengkan. Oleh sebab itu, dalam konteks itulah, kita bisa menjumpai dalam buku-buku yang disuntingnya maupun tulisan-tulisannya, AE Priyono berusaha untuk ‘mempertemukan’ tiga topik tersebut, karena sejatinya AE meyakini di dalam ketiga tema tersebut terdapat nilai-nilai kebajikan yang dapat memajukan peradaban.

Adapun usaha AE tersebut, kita bisa melihatnya melalui buku yang disuntingnya, yakni  Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi yang diterbitkan oleh Mizan (2008), dapat dikatakan merupakan usaha AE untuk mempopulerkan gagasan Islam yang berkesesuaian dengan nilai universalisme hak-hak asasi yang tertuang dalam pemikiran Kuntowijoyo.

Selain itu, kita bisa melihat tulisan AE Priyono sendiri, yakni Masa Depan Islam-Politik dan Islamisme di Indonesia (2019), di mana AE berpendapat bahwa apa yang disebutnya sebagai post-Islamisme perlu dikembangkan untuk keberlangsungan konsolidasi demokrasi di Indonesia.

Sebagai catatan juga, saya rasa gagasan pengembangan post-Islamisme sendiri, berkaitan erat juga dengan keresahan AE Priyono mengenai fenomena yang disebutnya sebagai nalar fundamentalisme agama di ruang publik. AE menyoroti kelompok yang memaksakan keyakinannya yang ekslusif kepada publik (hlm.209).

Sedikit menengok masa muda AE Priyono, berdasarkan pengakuan teman-teman AE Priyono, seperti Mahfud MD, sejak mahasiswa AE memang meminati kajian demokrasi dan Islam modern (hlm.94). Selain itu, Hamid Baasyib pun mengakui bahwa sejak dulu, AE memang menekuni isu-isu yang berwatak progresif dan anti kemapanan (hlm.89).

Bagi saya, yang paling mengagumkan dan patut untuk menjadi teladan, yakni sikap AE yang tidak memperlakukan diskursus-diskursus tersebut hanya berhenti pada teks, tetapi ia juga mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, contoh yang paling sederhana misalnya dalam pergaulan sehari-hari, AE dikenal orang yang demokratis dan egaliter. AE menolak nilai-nilai feodalisme, termasuk dalam bentuk senioritas (hlm.84). Tentu saja, yang ditunjukkan oleh AE tersebut, sesuai juga dengan teks-teks yang ditekuninya, yakni demokrasi dan kajian-kajian progresif, termasuk di dalamnya kajian keislaman.

Sosok Intelektual di Hadapan Praktik Demokrasi yang Oligarkis

AE Priyono berpendapat bahwa buku yang disunting oleh Amalinda Savirani dan Olle Tornquist, yakni Reclaming the State: Overcoming Problems of Democracy in Post-Soeharto Indonesiaharus kita pertimbangkan untuk melanjutkan agenda reformasi ke depan (hlm.196).

Buku tersebut menawarkan resep untuk membebaskan negara dari cengkraman plutokrasi, yakni dengan merebutnya kembali. Tiga argumennya: pertama, dengan merebutnya kembali dari monopoli oligarki, maka negara akan mempunyai peran besar untuk mempromosikan demokratisasi yang lebih substantif, antara lain dengan agenda mereaktivasi subjek politik kewarganegaraan demi memajukan hak-hak ekonomi dan sosial; kedua, dengan membebaskan negara dari cengkraman kepentingan-kepentingan privat oligarki, pemajuan sistem negara kesejahteraan dianggap lebih niscaya diselenggarakan; dan ketiga, dengan dua agenda nasional itu, upaya untuk menghidupkan kembali rezim-rezim demokratik di tingkat lokal juga lebih dimungkinkan (hlm.195-196).

Pemaparan AE tersebut, jelas menunjukkan juga bahwa saat ini salah satu permasalahan demokrasi yang begitu mengakar, yakni dominasi oligarki yang menghambat terwujudnya demokrasi substantif. Yudi Latif pun dalam tulisannya, turut juga menyoroti permasalahan tersebut, Yudi mengemukakan “institusi-institusi representasi demokrasi dan lembaga publik tidak lagi di bawah kendali publik, namun jatuh ke tangan pengendalian segelintir pemodal kuat (hlm.315).

 Akan tetapi, sebagaimana yang digambarkan oleh Coen Husain Pontoh (hlm.287), meskipun di tengah situasi di mana kekuataan oligarki begitu dominan di hampir segala bidang, AE tetap menjadi sosok yag terus berikhtiar untuk kepentingan masyarakat lebih luas. Coen pun menyebut AE sebagai sosok intelektual profetik, yang bukan hanya berkutat dengan teori-teori dan metodologi, tetapi terlibat aktif juga dalam mengadvokasi problem-problem sosial yang terjadi di masyarakat (hlm.285). Sementara menurut Burhanuddin Muhtadi, ia menggambarkan AE sebagai sosok intelektual organik, yakni intelektual yang menjalankan fungsinya di tengah masyarakat (hlm.280).

Untuk menggambarkan konsistensi dari AE ini,  Yudi Latif bahkan mengemukakan “Dalam sisa kekuatan tubuhnya yang makin ringkih, Bung AE tidak pernah melepas baju kritisismenya. Dia terlahir untuk ide dan mati dengan ide. Semoga kematiannya ibarat sehelai daun yang terjatuh yang bisa memberi pupuk bagi kesuburan bumi ide di negeri ini. Dengan mati, Bung AE abadi (hlm.318).

Sebagai penutup, bagi saya sendiri, buku Menolak Matinya Intelektualisme ini memberikan pembelajaran yang amat berharga. Pertama, dari AE kita bisa belajar, sikap ideal dari seoang intelektual adalah selalu menautkan antara teori dan praksis. Oleh sebab itu, buku ini amat penting untuk dibaca, terutama untuk kalangan muda, karena akan dapat menumbuhkan semangat tersendiri untuk lebih berusaha dan belajar menjadi seorang intelekual organik atau profetik. Mengingat AE adalah sosok nyata dari gambaran sosok intelektual (organik dan profetik) tersebut. Keduanya, sebagai peminat studi ilmu politik, saya sendiri sangat menyadari, sangat tidak mudah untuk menumbangkan kekuataan oligarkis, dan saya sangat yakin, A.E pun mempunyai kesadaran yang sama. Akan tetapi, yang perlu kita apresiasi bersama, yakni meskipun di tengah situasi yang demikian (dominasi oligarki), ia tetap teguh berikhtiar dan berjuang untuk kehidupan demokrasi yang lebih baik. Oleh sebab itu, bagi saya, meskipun raga AE sudah tiada, akan tetapi pikiran-pikirannya, semangatnya, dan harapan-harapannya akan selalu ada dan terus menyala.

priyono
Buku Digital

Buku Menolak Matinya Intelektualisme edisi digital ini bisa diunduh gratis di playstore

Leave a Reply