Kota Untuk Semua

Pandangan bahwa urbanisasi tak bisa dicegah semakin diakui pemangku kepentingan perkotaan. Urbanisasi tak lagi dilihat dari sisi masalah, tetapi juga peluang untuk kesejahteraan rakyat.

Ekonom Edward Glaeser dalam The Triumph of the Cities (2011) mengajukan contoh empiris di mana kota merupakan ruang kondusif bagi kompetisi, kewirausahaan, dan inovasi. Karena itu, kota sering berperan sebagai sarana untuk mobilitas ke atas secara sosial ekonomi. Tak sedikit warga desa yang ”menjadi orang” setelah pindah ke kota. Kesempatan mudik Lebaran sering jadi ajang unjuk sukses para migran sehingga warga desa lain tertarik mengikuti jejak mereka.

Beberapa laporan Bank Dunia menunjukkan korelasi kuat antara pertambahan tingkat urbanisasi dan pertumbuhan penghasilan per kapita. Di Indonesia, kurun 1990–2015, setiap kenaikan 1 persen tingkat urbanisasi berkorelasi dengan peningkatan 4 persen penghasilan per kapita. Akan tetapi, capaian ini ternyata masih kalah dengan yang terjadi di beberapa negara Asia lain, seperti Thailand (7 persen), Vietnam (8 persen), dan Tiongkok (10 persen). Artinya, urbanisasi di negara-negara itu jauh lebih menyejahterakan.

Tiongkok bahkan mengadopsi yang disebut Profesor Aprodicio Laquian (2008) sebagai pembangunan berbasis perkotaan, yaitu menggunakan urbanisasi sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi, peningkatan kesejahteraan, dan pengurangan kemiskinan. Tak kurang dari 500 juta orang di Tiongkok dientaskan dari kemiskinan dalam kurun 30 tahun.

Tak dapat dimungkiri bahwa kota-kota di Tiongkok masih menghadapi banyak masalah. Namun, contoh-contoh itu juga menunjukkan bahwa dengan mengakui urbanisasi sebagai fenomena yang tidak dapat dihindari sehingga harus dimanfaatkan demi pembangunan. Urbanisasi berubah dari masalah menjadi solusi.

Paradigma baru ini kemudian dituangkan dalam Agenda Baru Perkotaan yang ditetapkan PBB pada Konferensi Habitat III di Quito, Ekuador, Oktober 2016.  Intinya, selain harus berkelanjutan secara lingkungan, kota-kota di dunia juga harus inklusif dan memberikan peluang adil bagi semua pihak. Kota haruslah untuk semua.

Tantangan Pelaksanaan

Namun, komitmen hanya jadi slogan jika tak bisa dilaksanakan. Membiarkan warga miskin desa bermigrasi ke kota dan tetap miskin di kawasan kumuh tentu bukan kehendak Agenda Perkotaan Baru. Jangan sampai kaum elite dan kelas menengah saja yang menikmati manfaat pembangunan kota.

Namun, di sisi lain, sebagian anggota kelas menengah pun sering kali bersikap hipokrit: mendukung penggusuran pelaku ekonomi informal, tetapi dalam keseharian menikmati layanan murah para pelaku ekonomi informal. Terlihat banyaknya warung di balik gedung perkantoran ataupun banyaknya pengguna layanan ojek.

Padahal, ekonomi perkotaan informal akan terus tumbuh selama pertumbuhan ekonomi formal tak mampu menampung tenaga kerja baru. Sejumlah ekonom memperkirakan bahwa jika pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah 7 persen, tak semua tenaga kerja baru tertampung di sektor ekonomi formal. Belum lagi jika pertumbuhannya lebih dipacu ekonomi padat modal dan padat teknologi yang berpotensi menimbulkan pertumbuhan tanpa pembukaan lapangan kerja.

Di sisi lain kemampuan sektor-sektor perdesaan mendongkrak kesejahteraan warga masih sangat terbatas. Kepemilikan lahan desa yang semakin kecil membatasi peluang petani sejahtera. Memang terdapat indikasi bahwa gelontoran dana desa yang diamanatkan UU No. 6/2014 telah sedikit-banyak meningkatkan kesejahteraan warga desa. Namun, peningkatan masih terbatas dan migrasi desa-kota tetap berlangsung.

Lima Kebijakan Kunci Kota

Setidaknya lima kebijakan kunci agar prinsip ”kota untuk semua” sekaligus menyejahterakan rakyat secara luas.

Pertama, fasilitasi kaum migran desa kota maupun warga desa yang wilayahnya tergusur menjadi kawasan perkotaan agar mereka berpeluang lebih besar meningkatkan kesejahteraan melalui sektor perkotaan. Fasilitasi ini tak saja memberikan keterampilan bekerja di perkotaan, tetapi juga menciptakan lingkungan yang memungkinkan mereka berkembang.

Salah satunya menyediakan ruang bekerja atau berusaha. Faktor lain yang tak kalah penting adalah hunian yang layak.

Untuk itu banyak pendekatan afirmatif yang bisa dilakukan. Kerja sama bisa dibangun dengan pemilik properti dengan insentif menarik jika mereka mau menampung pedagang informal yang secara gradual diberdayakan.

Kedua, secara bertahap sebarkan gula-gula sehingga tak hanya Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Semarang yang menarik, tetapi juga kota lain di luar Jawa. Jika pemerintah bisa mengambil keputusan drastis memindahkan ibu kota ke luar Jawa, BUMN akan terdorong memindahkan kantor pusatnya ke kota-kota di luar Jawa. Insentif dapat diberi kepada korporasi swasta agar mau berkantor pusat serta membangun kawasan industri di luar Jawa.

Ketiga, memastikan bahwa penguatan hubungan desa-kota tak diwarnai kebijakan yang bias kota. Upaya memfasilitasi mereka yang ingin tetap tinggal di desa tidak boleh kalah serius dengan upaya memfasilitasi mereka yang ingin berurbanisasi ke kota.

Keempat, kota-kota harus didorong dan dibantu kapasitasnya agar dapat lebih layak huni, berbudaya, produktif, berdaya saing, berketahanan, dan berkelanjutan. Masalah sumber daya bisa diatasi melalui kerja sama pusat-daerah dan antardaerah serta antarpemangku kepentingan dengan mengurangi ego-sektoral/kedaerahan.

Kelima, tata kelola yang baik di semua tingkat harus diupayakan terus-menerus, setidaknya menyangkut partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keefektifan. Setiap dukungan pemerintah pusat harus bisa mewujudkan tata kelola perkotaan yang baik.

Semua hal di atas, plus langkah penting lain yang belum terulas, perlu dituangkan dalam Kebijakan Perkotaan Nasional berkekuatan hukum memadai sehingga bisa efektif. Melalui UN-Habitat, PBB pun saat ini terus mendorong agar negara anggotanya mengembangkan NUP yang efektif seiring kian banyaknya penduduk dunia yang tinggal di perkotaan.

Ketika kota-kota di dunia makin menyejahterakan seluruh warganya, tentu kota-kota di Indonesia tidak boleh ketinggalan.

Wicaksono Sarosa
Direktur Ruang Waktu Konwledge Hub / Penulis buku “Kota Untuk Semua”

Artikel ini diambil dari Harian Kompas pada tanggal 22 Juni 2019

Leave a Reply