WEBINAR KOTA HAM: REGULASI PANDEMI, SUDAHKAH INKLUSIF?

Efek pandemi Covid-19 telah melahirkan banyak inisiatif dan regulasi. Namun, sudahkah memenuhi nilai-nilai HAM dan inklusif bagi warganya? Hal itulah yang dibahas dalam Webinar Series on Human Right Cities #1, yang diselenggarakan oleh INFID (International NFGO Forum on Indonesia Development) dengan tema “Hak Atas Kota di Saat Pandemi: Menggunakan Sudut Pandang Buku Kota untuk Semua yang digelar Kamis, 18 Juni 2020

 “Pada webinar kali ini kita ingin belajar tentang (prinsip) kota untuk semua dari berbagai ilmu dan pengalaman yang dimiliki oleh narasumber kita hari ini,” ujar Sugeng Bahagijo, Direktur INFID. INFID sendiri telah  mendampingi beberapa kota/kabupaten untuk menjadi kota ramah HAM, antara lain, Bandung dan Wonosobo.

Seri Webinar INFID: Human Right Cities

Sugeng menambahkan, buku Kota untuk Semua karya Wicaksono Sarosa sejalan dengan semangat dan prinsip Kabupaten/Kota HAM, sehingga bisa menjadi referensi untuk pengembangan kota.

Kedepankan HAM

Pemenuhan HAM juga merupakan tanggung jawab pemerintah daerah. Pada masa pandemi ini, kepala daerah merupakan orang yang paling paham kondisi daerahnya dan bagaimana peraturan mereka bisa dipatuhi oleh warganya. Demikian keterangan dari Jaleswari Pramowordhani, Deputi V Kepala Staf Kepresidenan, dalam diskusi Webinar ini. Pemerintah pusat juga memberikan kewenangan kepada pemda untuk melakukan penyesuaian anggaran dan penyediaan skema bantuan sosial dalam menghadapi pandemi.

Jaleswari juga menambahkan, pandemi covid-19 mendorong kota-kota di dunia untuk cepat tanggap mengatasi persoalan ini. Pemerintah kota Gwanju (Korea Selatan), misalnya, membuka diri untuk menerima pasien dari kota lain dan juga memberikan dukungan pengiriman tenaga medis ke kota yang membutuhkan. Pemerintah Barcelona melakukan gerakan sosial untuk mendukung program Manteros. Dalam konteks Indonesia, kita juga memiliki modal sosial (gotong royong) yang baik untuk meningkatkan kesuksesan dalam menangani COVID-19 

Di Indonesia, tiap daerah diberikan wewenang oleh Pemerintah untuk mengelola daerahnya dalam penanganan covid-19 karena mereka yang paham betul kondisi wilayahnya. Walikota Salatiga, Yulianto, yang turut menjadi narasumber di Webinar ini bercerita bahwa di kotanya ada Lumbung Warga yang tersedia di setiap RW sebagai inisiasi dari warga untuk membantu warga lain yang membutuhkan. Warga bisa memdonasikan beras, minyak, dan sembako lainnya di situ. 

Lumbung Warga di Salatiga, (foto: tribunnews)

Pemkab Salatiga juga menata pasar tradisional tetap buka selama pandemi covid-19 dengan menerapkan protokal kesehatan yang ketat: mengatur jarak antar pedagang, penggunaan masker, dan lain-lain, sehingga kegiatan ekonomi warga masih bisa berjalan.

Dalam masa #newnormal, Salatiga memberikan sanksi bagi warganya yang melanggar protokol kesehatan. “Warga yang melanggar protokol, kami haruskan untuk bekerja sosial menyapu jalanan selama 2 jam. Ini untuk menimbulkan efek jera dan membangun kesadaran warga,” jelas Yulianto.

Cities For All

Sementara itu Wicaksono Sarosa, menyatakan pandemi mengubah banyak hal termasuk kerja sama antar kota, pola hidup sehat, dan membuat tantangan pengelolaan perkotaan pun semakin kompleks karena tingkat ketidakpastian yang semakin tinggi. Kreativitas tiap kota dan warganya dituntut lebih tinggi di masa pandemi ini.

Meski begitu, semangat kota untuk semua (cities for all) harus terus diperjuangkan. Kota untuk semua dapat diartikan bahwa kota-kota di dunia pada masa mendatang harus inklusif dan tidak meminggirkan kelompok-kelompok tertentu. Kota untuk semua juga bermakna bahwa kota mampu memberikan jaminan akan pemenuhan kebutuhan generasi sekarang maupun masa depan untuk tinggal, mendapat manfaat, dan berkarya di kota.

Yang menarik, Wicaksono juga menyampaikan, anggapan Indonesia sebagai negara agraris tampaknya sudah tidak lagi sepenuhnya benar, mengingat 56% penduduk Indonesia kini tinggal di perkotaan. Ketika Indonesia memperingati 100th kemerdekaan, diperkirakan 70% penduduk Indonesia sudah tinggal di perkotaan.    

Oleh karena itu, melalui karya terbarunya yang terbilang serius ini, Wicaksono mengajak stakeholders dan publik untuk membincangkan parameter apa saja yang diperlukan untuk mewujudkan kota untuk semua. Dalam membuat kota HAM, tidak hanya memperhatikan tujuan SDGs nomor 11 saja namun semua poin perlu diperhatikan dengan memperhatikan prinsip “tidak ada yang tertinggal.” Termasuk kota seharusnya dapat mengurangi kemiskinan apabila mereka bisa memberikan sarana dan prasarana yang inklusif.

Kota Untuk Semua, buku karya Wicaksono Sarosa

Selain SDGs, NUA (New Urban Agenda) merupakan salah satu yang bisa dijadikan panduan untuk mewujudkan kota untuk semua. “Dalam buku Kota untuk Semua ini, saya menguraikan  kota untuk semua bisa terwujud kalau kota dibangun oleh semua pihak bagi semua pihak,” ungkap Wicaksono Sarosa yang juga pakar perencanaan kota di akhir paparannya.

Selain beberapa narasumber di atas, diskusi ini juga menghadirkan Risnawati Utami, Anggota Komite Convention on the Rights of Person With Disablities; dan Yuli Asmini, Koordinator Penyuluh Komnas HAM.

Leave a Reply