KO-KREASI [KOTA] UNTUK SEMUA SAAT NEW NORMAL

Gagasan kota untuk semua merupakan penyederhanaan dari New Urban Agenda (NUA) yang didasari pada konsepsi hak atas kota (right to the city). Henry Lefebvre (1992, 1996) dan David Harvey (2008) berpendapat jika (a) manusia berhak untuk meningkatkan taraf hidupnya dan (b) kota dapat mempengaruhi kehidupan warganya. Kedua argumentasi tersebut menjadi dasar pemikiran awal ”warga berhak terlibat dalam proses dan menikmati hasil pembangunan kota”. Dalam buku Kota untuk Semua, ”hak” partisipasi tersebut tidak hanya untuk warga kota tapi juga warga dari wilayah lain, kaum pendatang dan generasi mendatang (Sarosa, 2020). Dengan kata lain, semua warga kota, warga wilayah lain, pendatang, dan generasi mendatang berhak mendapatkan manfaat dari pembangunan kota.

Untuk mewujudkan kota untuk semua, NUA mempromosikan pendekatan holistik yang mengintegrasikan pembangunan lintas sektor, lintas disiplin ilmu, lintas wilayah dan multi-pihak. Pendekatan holistik sangat relevan untuk menerapkan Sustainable Development Goals (SDGs) yang direkomendasikan menjadi rujukan pembangunan kota untuk semua. Tidak hanya kota tercantum dalam SDG-11, tapi semua tujuan dalam SDGs sesungguhnya sangat berkaitan dengan pembangunan perkotaan. Pendapat serupa ternyata juga dikemukakan oleh UN Habitat dimana menurut Erna Witoelar, UN Habitat sudah mengaitkan SDG 11 dengan 7 tujuan lain. Oleh karena itu, tidak heran jika pembangunan kota menjadi salah satu entry point untuk mencapai SDGs.

Berbagai contoh upaya perwujudan SDG-11 di perkotaan nampak sangat jelas seperti perbaikan trotoar, penyediaan rumah bagi MBR, atau penyediaan angkutan umum perkotaan. Namun, belum banyak yang menyadari peran kota dalam SDG-3 dan SDG-14 misalnya. Dalam konteks SDG-3, peran kota dalam mendukung kesehatan yang baik dan kesejahteraan bagi semua orang tidak terbatas pada pembangunan fasilitas kesehatan unggul. Lebih dari itu, kota dapat berperan mewujudkan SDG-3 dengan membuat kota yang bersih, sehat, hijau, dan aktif. Secara ringkas, dapat disimpulkan kota dapat mendorong pencapaian SDGs baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kota Ko-Kreasi: Mungkinkah?

Saat ini kita sedang menghadapi tantangan global yang mempengaruhi segala aspek kehidupan manusia termasuk perkotaan. Pandemi Covid-19 memang melahirkan pertanyaan-pertanyaan terkait keberlanjutan sebuah kota. Kepadatan tinggi di perkotaan sering disebut-sebut sebagai penyebab cepatnya penyebaran virus. Dengan terganggunya kegiatan ekonomi selama pandemi, pembangunan kota juga ikut terdampak. Lantas bagaimanakah wujud kota di masa depan?

Pandemi memang menjadi wake up call bagi semua pihak untuk mengevaluasi perencanaan, pengelolaan dan pembangunan perkotaan yang dilakukan selama ini. Menurut Menurut Erna Witoelar, masa new normal menjadi kesempatan kita untuk benar-benar menerapkan norma-norma baru kota untuk semua, termasuk melakukan pembangunan yang selaras dengan SDGs. Pada masa new normal, pendekatan holistik melalui kemitraan menjadi kunci menuju kota untuk semua.

Kota ko-kreasi merupakan gagasan paling realistis dalam mewujudkan kota untuk semua. Wicaksono Sarosa mengungkapkan jika kota ko-kreasi yaitu kota yang merupakan hasil kontribusi semua pihak, dari sumber daya semua pihak sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh semua pihak. Argumen tersebut juga didukung oleh Erna Witoelar yang menyatakan jika kota ko-kreasi didasari oleh hubungan kerja sama yang dibangun dengan visi bersama (co-creating), berbagi sumber daya (co-sharing) dan risiko ditanggung bersama (co-risk taking).

https://ruangwaktucom.files.wordpress.com/2020/07/image-1.png?w=606
Prinsip Dasar Kota Ko-Kreasi (Witoelar, 2020)

Dalam kota ko-kreasi, pemerintah berperan dalam mengatur hal-hal yang menjadi kepentingan publik serta masuk di mana kebutuhan tidak dapat dipenuhi oleh mekanisme pasar. Penyediaan infrastruktur, fasilitas sanitasi dan air minum menjadi beberapa contoh kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi oleh pasar, sehingga ada beberapa kelompok yang tertinggal seperti kaum miskin atau penyandang disabilitas. Menurut Kepala BPIW, Hadi Sucahyono, Kementerian PUPR sudah berkontribusi mempercepat pemenuhan pelayanan tersebut. Namun, upaya yang sudah dilakukan masih perlu ditingkatkan dan dipercepat agar kota untuk semua segera dapat diwujudkan.

Di sisi lain, swasta turut berperan menyediakan kebutuhan kota pada sektor yang dapat berjalan dengan mekanisme pasar. Pemenuhan kebutuhan kota oleh pihak swasta dapat dilakukan secara lebih efisien termasuk dalam perwujudan kota untuk semua. Menurut Managing Director Presiden Office Sinar Mas Land, Dhony Rahajoe, pengembangan BSD City sudah berupaya menerapkan inklusifitas dan selaras dengan SDGs. Misalnya saja wadah SATU BSD (Silaturahmi Antar Umat Berdikari Sehat Damai), pasar rakyat dan konsep hunian berimbang yang berkontribusi untuk mengurangi kesenjangan, selaras dengan SDG-10.

BSD City, bentuk pengembangan kota

Sementara itu,  masyarakat memiliki hak terlibat dan memiliki kewajiban menjaga kota secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilannya. Menurut Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, warga kota dan DPR bertugas mengawasi pembangunan kota untuk semua. Dalam hal ini, baik warga maupun anggota parlemen harus aktif berpartisipasi dalam setiap tahapan pembangunan kota, mulai dari perencanaan, penganggaran, hingga pembangunan. Ko-kreasi harus menjadi nafas dalam pembangunan kota di mana pembangunan kota harus sesuai dengan kebutuhan warga, termasuk kaum marjinal.

Membangun kota untuk semua pada masa new normal dapat dilakukan dengan menerapkan konsep kota ko-kreasi di mana pemerintah, swasta dan masyarakat bekerja sama secara setara. pemerintah, swasta dan masyarakat harus menerapkan prinsip kemitraan (saling percaya, kesetaraan, transparansi, manfaat bersama, keberanian untuk bekerja sama) untuk mewujudkan kota untuk semua. Kerja sama tersebut merupakan solusi untuk saling melengkapi kekuatan dan kekurangan dari semua pihak. Jika pemerintah berjalan sendiri, swasta berjalan sendiri, masyarakat berjalan sendiri, belum tentu tujuannya searah. Bisa saja semua bertujuan sama untuk mewujudkan kota untuk semua tapi tanpa adanya kemitraan, dalam perjalanan menuju tujuan tersebut, bisa saja terjadi gesekan antar aktor. Oleh karenanya, kota ko-kreasi merupakan solusi paling memungkinkan untuk mewujudkan kota untuk semua.

Artikel dari Webinar #1 RWxKH “Relevansi Kota untuk Semua” yang diselenggarakan oleh RuangWaktu – Knowledge Hub for Sustainable [Urban] Development dan Kemitraan Habitat Indonesia pada Kamis, 2 Juli 2020.

Leave a Reply