Buku Terbaru Yudi Latif: Masihkah Pancasila jadi Bintang Penuntun?

Masyarakat Indonesia saat ini mudah sekali termakan isu dan berita yang belum jelas kebenarannya. Isu-isu berseliweran seiring memanasnya suhu politik jelang Pemilu, mewarnai naiknya nilai rupiah, dan membumbui peristiwa-peristiwa lainnya. Ironisnya isu-isu tersebut acapkali menunjukkan terjadinya keretakan hubungan antargolongan dan merongrong persatuan yang telah terbina puluhan tahun.

Hampir lima tahun terakhir ini, persisnya pasca-Pilpres 2014, kita bisa merasakan bagaimana disharmonitas bangsa ini makin terganggu. Bila kini masalah suku dan agama kembali dipersoalkan dalam urusan pemilihan, pertanda ada kuman degeneratif yang melunturkan semangat kebangsaan kita. Ketegangan beraroma etno-religius ini harus dipandang sebagai gejala permukaan dari endapan penyakit epidemik yang menyerang sistem saraf Pancasila.

Menariknya di tengah suasana kurang kondusif itu, sebagian masyarakat meyakini bahwa kita masih tertolong oleh keberadaan Pancasila. Tapi, benarkah anggapan dan keyakinan itu? Setelah lebih dari 70 tahun Pancasila ditahbiskan sebagai dasar dan ideologi negara serta kepribadian bangsa Indonesia, apakah kesaktiannya masih bisa diandalkan di tengah arus globalisasi dengan penetrasi beragam ideologi yang memboncengnya? Di sini kita melihat situasi paradoksal. Secara konsepsional, Pancasila merupakan ideologi tahan banting yang kian relevan dengan perkembangan kekinian. Namun, secara operasional, terdapat jurang yang kian lebar antara idealitas Pancasila dan realitas pembumiannya.

“Pancasila merupakan titik temu, titik tumpu, dan titik tuju”

Jurang lebar antara idealitas dan realitas Pancasila itulah yang menjadi sumber krisis kebangsaan hari ini. Kehidupan kebangsaan hari ini diliputi cuaca kebatinan dengan megamendung kerisauan, pertikaian, dan penggelapan. Sulit menemukan bintang penuntun yang menerbitkan kesamaan titik temu, titik tumpu, dan titik tuju. Visi kebangsaan ibarat cermin kebenaran yang jatuh dan pecah berkeping-keping. Setiap pihak hanya memungut satu kepingan, lantas memandang kebenaran menurut bayangannya sendiri. Rasa saling percaya pudar; bineka warna sulit menyatu, rasa sulit bersambung, rezeki sulit berbagi.

Wawasan Pancasila dari Yudi Latif

Merespons hal ini Yudi Latif kembali menghadirkan karya terbarunya, Wawasan Pancasila: Bintang Penuntun untuk Pembudayaan yang diterbitkan oleh Mizan. Disela-sela kesibukannya sebagai Ketua BPIP Pancasila tahun lalu, Yudi Latif meramu buah pemikiran dan pengalamannya selama bertugas dalam sebuah buku yang menguatkan intisari Pancasila.

Bangsa Indonesia masih belum sepenuhnya menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam keseharian. Pengajaran di sekolah, perilaku tokoh publik dan politisi masih kurang untuk menjadi contoh yang baik bagi masyarakat. Wawasan Pancasila mengusulkan pembudayaan Pancasila sebagai cara untuk mengubah mental dan perilaku bangsa Indonesia.

Dalam implementasinya, menurut Yudi Latif, gerakan pembudayaan Pancasila ini tidak boleh dilakukan dengan pendekatan vertikal: negara yang ambil inisiatif, negara yang menafsir, negara yang melakukan. Cara terbaik mestinya dilakukan dengan pendekatan horizontal dalam bingkai semangat gotong royong yang melibatkan partisipasi berbagai agen sosial dari kalangan masyarakat sipil, masyarakat media, pekerja budaya, dunia pendidikan, dan dunia usaha.

Lebih lanjut, Yudi Latif menambahkan, untuk memulihkan kondisi krisis saat ini, kita memerlukan penguatan kembali karakter bangsa melalui penyadaran, pemberdayaan, serta pembudayaan nilai-nilai dan moralitas Pancasila. Dengan multidimensi penyebab krisis, maka usaha pembudayaan Pancasila harus dilakukan dengan melibatkan multi-approaches, multi-disciplines, multimedia, multi-platforms, dan multi-stake holders. Pendekatannya harus lebih responsif dan atraktif bagi generasi hari ini. Pancasila tidak bisa lagi sekadar bahan hafalan dengan kandungan isi yang sarat dengan muatan-muatan normatif, legal-formal. Pembudayaan Pancasila harus dikembangkan dengan cara-cara yang lebih berkebudayaan yang bersifat multidimensional.

Buku Wawasan Pancasila ini melengkapi koleksi Yudi Latif sebelumnya, Mata Air Keteladanan, Negara Paripurna dan Revolusi Pancasila sebagai buku referensi tentang Pancasila. Pengalaman Yudi Latif sebagai akademisi dan pengajar Pancasila tidak perlu diragukan lagi untuk menjadi pemandu tentang Pancasila.

Leave a Reply