Belum (Sepenuhnya) Menjadi Indonesia

Tulisan dari Salahuddin Wahid

Bangsa Indonesia adalah hasil perjuangan bersama warga bernasib sama di wilayah Nusantara: dijajah oleh Belanda. Mereka hidup miskin, tidak mendapat pendidikan, tidak mempunyai hak sama dengan warga Belanda dan kaum priayi.

Kekayaan alam Indonesia diisap oleh Belanda selama ratusan tahun. Dengan cultuurstelsel, Belanda memanfaatkan tanah di Nusantara untuk menghasilkan produk-produk yang dikirim ke Belanda, lalu dijual dan menghasilkan uang yang amat besar. Menurut Bung Karno, mengutip dari Prof van Gelderen, Kepala Central Kantoor voor de Statistiek, dalam pidato ”Indonesia Menggugat” (1930), kekayaan yang diangkut dari Indonesia per tahun setidaknya mencapai 1,5 miliar gulden (dalam nilai sekarang mungkin 50 miliar euro atau sekitar Rp 600 triliun).

Mantan anggota Dewan Hindia Pruys van der Hoeven dalam buku Veerteg Jaren Indische Dienst menulis, ”Nasib orang Jawa dalam 40 tahun terakhir ini tidak banyak diperbaiki. Di luar kaum ningrat dan beberapa hamba negeri, hanya ada rakyat yang ”sekarang makan besok tidak”.

Mantan Asisten Residen HEB Schmalhausen di dalam buku Over de Java en de Javanen menulis, ”Saya melihat dengan mata sendiri, bagaimana orang-orang perempuan sesudah berjalan beberapa jam, sampai di tempat yang dituju tidak bisa ikut mengetam padi karena terlalu banyak pekerja. Kami menghitung bahwa harga padi yang mereka terima sebagai upah paling banyak 0,09 gulden per hari.”

Kalau nilai gulden dulu ekuivalen 50 kali nilai euro kini, upah tersebut ekuivalen Rp 50.000 per hari. Kalau nilainya 20 kali, upah tersebut ekuivalen Rp 20.000 per hari. Itu sedikit lebih tinggi daripada standar Bank Dunia bahwa yang punya pendapatan di bawah 2 dollar AS per hari tergolong miskin. Dengan standar tersebut, jumlah kelompok miskin 50 persen penduduk Indonesia atau di atas 120 juta orang. Bandingkan dengan Malaysia yang kelompok miskinnya sekitar 7 persen dari jumlah penduduk. Padahal, alam Indonesia lebih kaya dibandingkan dengan Malaysia.

Fitrah manusia yang tinggal di wilayah Nusantara ialah bahwa mereka terdiri dari berbagai suku, etnis, dan ras. Ada ratusan suku hidup di wilayah itu. Mereka juga majemuk dalam hal agama. Ada sejumlah agama penduduk asli di sejumlah tempat. Perjuangan panjang sporadis secara militer melawan Belanda di beberapa daerah telah gagal. Muncullah kesadaran bahwa perjuangan merebut kemerdekaan harus dilakukan bersama-sama dalam bidang politik.

Syukur ada cukup banyak pemuda yang mendapat pendidikan tinggi dari berbagai suku dan agama. Mereka berjuang mempersatukan warga Nusantara dengan beragam latar belakang.

Ikatan Kebersamaan

Menurut Bung Karno, Bapak Nasionalisme Indonesia adalah EFE Douwes Dekker (Setiabudi). Bersama Dr Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat, Setiabudi telah berpikir tentang suatu bangsa yang bukan diikat oleh sentimen primordial, kesamaan agama atau geografis, melainkan proklamasi sederhana tentang rasa kesetiakawanan bangsa yang membebaskan.

Bung Hatta dan kawan-kawan melalui Perhimpunan Indonesia di Belanda pada 1924 menerbitkan jurnal Indonesia Merdeka. Mahasiswa Jawa di Al-Azhar Kairo pada 1922 bergabung dalam Kesejahteraan Mahasiswa Jawa Al-Azhar. Mereka juga membaca jurnal Indonesia Merdeka.

Pernyataan prinsip Perhimpunan Indonesia perlu kita catat: ”Masa depan bangsa Indonesia hanya terletak pada didirikannya satu bentuk pemerintahan yang bertanggung jawab pada amanat rakyat karena hanya bentuk pemerintahan itulah yang bisa diterima. Hanya Indonesia yang bersatu dan mengesampingkan perbedaan yang mampu mematahkan kekuatan penguasa yang menjajah. Tujuan bersama Perhimpunan Indonesia berdasar pada kesadaran dan bertumpu pada kekuatan aksi massa nasionalistis”.

Kongres Pemuda 1928 menjadi wadah bagi sejumlah pemuda terpelajar sebagai representasi dari ratusan suku di seluruh Nusantara untuk bersumpah bahwa mereka mempunyai tanah tumpah darah yang satu, yaitu Indonesia; mempunyai bangsa yang satu, yaitu bangsa Indonesia; dan mempunyai bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Pencapaian bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia adalah suatu capaian luar biasa.

Para pendiri bangsa menyadari realitas kebinekaan tersebut dan menetapkan Pancasila menjadi landasan bersama yang mempersatukan warga multimajemuk menjadi suatu bangsa. Masalah hubungan agama (Islam) dan negara dapat diselesaikan untuk sementara pada 1945 dan diselesaikan tuntas secara formal pada 1984 setelah NU menghasilkan dokumen Hubungan Islam dan Pancasila yang diikuti ormas dan orpol Islam.

Indonesia Gagasan Ideal

Roh keindonesiaan termaktub dalam Pembukaan UUD yang mengandung Pancasila. Untuk bisa mewujudkan cita-cita bangsa, didirikan negara Republik Indonesia yang tujuannya dijelaskan di dalam Pembukaan UUD. Negara secara konkret diwakili pemerintah dan lembaga negara lain. Gagasan itu terasa ideal sehingga oleh Benedict Anderson dianggap sebagai ”the imagined community”.

Ada beberapa aspek yang bisa menjadi ukuran sejauh mana kita telah menjadi Indonesia, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Juga mengelola secara baik keragaman agama, suku, etnis, dan ras.

Banyak contoh bahwa kita tidak mampu melindungi warga negara yang terpaksa bekerja di luar negeri karena sulitnya mencari pekerjaan di Tanah Air.

Masalah hubungan antarsuku sudah tidak jadi masalah. Perkawinan antarsuku sudah amat biasa. Namun, yang sekarang kita saksikan ialah munculnya sentimen kedaerahan dalam kaitan politik. Sentimen anti-Tionghoa sudah jauh berkurang dan budaya Tionghoa bahkan menjadi bagian dari budaya kita setelah Imlek diakui sebagai hari libur.

Namun, ada masalah dalam hubungan antarumat beragama dan antarumat Islam. Yang masih hangat ialah masalah GKI Yasmin di Bogor, warga anggota jemaah Ahmadiyah Indonesia di sejumlah tempat, dan pengikut Syiah di Sampang.

Banyak umat Islam dan tokoh-tokohnya tidak mampu memisahkan atau membedakan antara masalah keagamaan dan masalah kenegaraan. Kasus yang menimpa warga Syiah di Sampang menunjukkan bahwa warga hanya memakai hukum Islam (menurut tafsiran mereka) sebagai dasar tindakan, tanpa mau tahu bahwa warga pengikut Syiah itu warga negara Indonesia yang punya hak untuk hidup.

Keadilan belum hadir di Indonesia, baik dalam masalah hukum maupun sosial ekonomi. Kita semua tahu bahwa lembaga penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan, sulit diharapkan.

Hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Pencuri sandal jepit dan buah tidak berharga diadili, tetapi koruptor banyak yang dibebaskan. Hukum kalah oleh uang, kalah oleh kekuasaan, dan kalah oleh tekanan massa. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dibandingkan dengan empat sila lain, adalah yang paling sedikit mendapat perhatian.

Cerdaskan Bangsa

Yang harus dicerdaskan kehidupan bangsa, bukan sekadar orang per orang. Mencerdaskan kehidupan bangsa berarti menghilangkan sikap bangsa terjajah, sikap inlander yang terbelenggu oleh keterjajahan, tidak punya harga diri, minder, dan fatalis. Kehidupan bangsa yang cerdas tentu mensyaratkan adanya harga diri, harkat, martabat, kejujuran, rasa saling percaya, kemandirian, kepandaian, sikap tidak mudah menyerah, produktif, hemat, dan keadilan. Kehidupan bangsa yang cerdas akan membuat kita menjadi bangsa kuat.

Tujuan itu dicapai dengan pelaksanaan dari kebijakan pendidikan yang ditujukan bagi seluruh warga negara Indonesia. UUD Pasal 28C angka (1) menjelaskan bahwa ”setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidup dan demi kesejahteraan manusia.

Pasal 11 Ayat 1 dari UU No 20/2003 tentang Sisdiknas mengamanatkan bahwa ”Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”.

Sampai kini ada sekitar 20 juta anak usia 7-15 tahun yang belum tersentuh pendidikan dasar. Ada sekitar 8 juta anak usia 16-20 tahun yang tidak dapat menikmati pendidikan menengah. Sekitar 3 juta tamatan sekolah menengah tidak bisa meneruskan ke perguruan tinggi. Dua pertiga tenaga kerja hanya tamat SMP.

Hasil uji kompetensi awal guru yang akan ikut sertifikasi pada 2012 (10 persen dari jumlah guru) menunjukkan bahwa rata-rata untuk SD mencapai angka 36,86; untuk SMP 46,15; SMA 51,35. Kompetensi yang rendah dari para guru membuat siswa tidak siap menghadapi ujian nasional sehingga mereka stres.

Pendidikan adalah kunci untuk menyiapkan anak bangsa sebagai aset sesungguhnya dari bangsa Indonesia. Jumlah penduduk usia produktif yang lebih besar dari penduduk usia non-produktif harus dimanfaatkan dengan baik. Kita harus memperbaiki kesejahteraan dan meningkatkan mutu guru, termasuk guru swasta yang berjumlah hampir 1 juta orang.

Dengan melihat beberapa fakta di atas, menurut saya kita baru 15 persen menjadi Indonesia. Kenyataan pahit itu terjadi karena maraknya korupsi dalam arti luas (penyalahgunaan kekuasaan) dan kebijakan yang tidak prorakyat.


Artikel ini diambil dari Opini Harian Kompas yang diterbitkan pada 25 Mei 2012

Leave a Reply