Yudi Latif : Normalitas Pancasila

Setelah mengarungi disrupsi pandemi korona yang melelahkan, banyak orang mulai mewacanakan kehidupan kenormalan baru (new normal). Akan tetapi, bagaimana gambaran kehidupan kenormalan baru yang diimpikan itu tak sepenuhnya terang.

Istilah ‘normal’ sesungguhnya berasal dari kata dasar ‘norm’ (norma). Situasi normal artinya menggambarkan kondisi kelaziman keteraturan. Masalahnya, kelaziman keteraturan itu bisa terperangkap ke dalam normalitas yang keliru (a false sense of normalcy). Misalnya, dalam rutinitas hidup bisa jadi masyarakat cenderung membenarkan yang biasa ketimbang membiasakan yang benar; atau selama pelayanan bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah; selama masih bisa membeli, mengapa harus memproduksi sendiri; selama bisa membeli produk asing, mengapa harus membeli produk dalam negeri.

Yang lebih dalam lagi, sebelum korona melanda, banyak orang memandang dirinya sebagai pusat segala sehingga bisa menghalalkan segala cara demi memenuhi kepentingan diri yang dapat merusak tatanan kebersamaan.

Disrupsi korona mendekonstruksi kelaziman normalitas keliru seperti itu. Ternyata, semua diri terhubung dengan sesuatu yang lebih besar, lebih luas, dan lebih tinggi. Di bawah wabah korona, semua diri tular-menular; semua bangsa papar-memapar; semua kekuatan tembus-menembus. Virus korona bisa menggerayangi segala agama dengan segala klaim kebenaran, semua ras tanpa diskriminasi, segala jabatan tanpa hak istimewa, segala adidaya tanpa hak veto. Dengan kesadaran baru yang tumbuh bersama wabah, impian new normal itu harus dipahami bukan sekadar menemukan keteraturan (rutinitas) baru, melainkan juga suatu normalitas baru yang benar (a true sense of normalcy).

Dalam kehidupan publik-kenegaraan, keteraturan yang benar itu harus didasarkan pada norma yang benar. Dalam kaitan ini, Pancasila lazim disebut sebagai grundnorm (norma dasar) yang menjadi sumber dari segala sumber hukum negara. Dengan kata lain, memasuki normalitas baru yang benar menghendaki pelaziman nilai-nilai normatif Pancasila sebagai bintang penuntun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Struktur makna terdalam dari keberadaan Pancasila sebagai norma dasar negara ialah kehendak mencari titik temu (“persetujuan”) dalam menghadirkan kemaslahatan- kebahagiaan bersama (al-masalahah al-ammah, bonum commune) dalam suatu masyarakat bangsa yang majemuk.

Dengan demkian, seluruh sila Pancasila berikut turunan visinya diarahkan untuk kemaslahatan-kebahagiaan hidup bersama (common good). Untuk itu, pertama-tama, persatuan nasional harus diperjuangkan dengan menghadirkan negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Memasuki normalitas baru yang benar menghendaki pelaziman nilai-nilai normatif Pancasila sebagai bintang penuntun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Demi persatuan nasional itu, negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Demi keadilan sosial itu, negara harus berdasar atas kedaulatan rakyat dalam permusyawaratan perwakilan. Semuanya itu menuntut fundamen etis, semangat ketuhanan menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

 Semua prasyarat ini terkandung dalam empat pokok pikiran Pembukaan UUD 1945. Singkat kata, kelima sila Pancasila saling tali-temali yang secara integral diharapkan dapat memenuhi dasar ontologisnya dalam kerangka kemaslahatan publik.

Kehendak untuk mewujudkan kemaslahatan-kebahagiaan hidup bersama juga tecermin pada tiga prinsip dasar Pancasila (sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan sosio-religius), yang pada analisis terakhir terkristalisasi dalam semangat gotong-royong (semangat welas asih untuk kerja sama, tolong-menolong, saling menghormati).

Gotong Royong Pancasila

Semua sila Pancasila dipersatukan semangat cinta kasih. Semangat cinta kasih untuk bekerja sama, tolong-menolong, dan saling menghormati, itulah yang dalam kata kerjanya disebut Bung Karno dengan istilah “gotong-royong”.

Di atas landasan cinta kasih, semua sila Pancasila hendak dikembangkan dengan semangat gotong-royong. Maknanya adalah: prinsip ketuhanannya harus berjiwa gotong-royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran); bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan. Prinsip internasionalismenya harus berjiwa gotong-royong (yang berperikemanusian dan berperikeadilan); bukan internasionalisme yang menjajah dan eksploitatif.

Prinsip kebangsaannya harus berjiwa gotong-royong (mampu mengembangkan persatuan dari aneka perbedaan, Bhineka Tunggal Ika); bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau menolak persatuan. Prinsip demokrasinya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan musyawarah mufakat); bukan demokrasi yang didikte suara mayoritas (diktator mayoritas) atau minoritas elite penguasa pemodal (tirani minoritas).

Prinsip kesejahteraannya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan); bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme-kapitalisme; bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme.

Peringatan Hari Lahir Pancasila di masa pandemi memberi kesadaran lebih mendalam pentingnya menyongsong kedatangan normalitas baru sebagai momentum penciptaan keteraturan yang benar, bahwa di ujung terowongan gelap pandemi korona kita bisa memasuki jalan terang welas-asih dalam kehidupan bersama. Dengan kekuatan gotong-royong yang dilandasi semangat saling mencintai, segala warna menyatu, rasa bersambung, rezeki berbagi.

yudi latif wabah
Yudi Latif, Cendikiawan dan Penulis Buku Wawasan Pancasila
Tulisan ini dimuat di Media Indonesia edisi 2 Juni 2020

Leave a Reply