Pidato Jokowi dan Era MO

Indonesia harus cepat beradaptasi dengan perkembangan zaman

PRESIDEN terpilih Joko Widodo mengawali pidatonya tanpa basa-basi. Tak pakai lama, usai membuka pidato dengan salam keagamaan–Jokowi kontan menyentak audiens.

Dia langsung mengajak semua elemen bangsa, segera menyadari kehidupan global yang sangat dinamis. Yang menuntut banyak perubahan dan kecepatan.

Perubahan demi perubahan itu kerap terjadi tanpa aba-aba. Bahkan, terkadang meleset dari perhitungan sebelumnya. Perubahan itu pun menggilas siapa saja yang terlena dengan kondisi dan cara-cara lama

Tak ada pilihan. Dalam pemerintahan ke depan, Jokowi bakal memaksa semua elemen bangsa untuk mencari model, cara dan nilai-nilai baru dalam menghadirkan solusi setiap permasalahan bangsa. “Kita semuanya harus mau dan akan kita paksa untuk mau,” kata Jokowi dalam pidatonya yang bertajuk Visi Indonesia di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor, Jawa Barat, Minggu malam 14 Juli 2019.

Menurut Jokowi, sudah saatnya meninggalkan pola pikir lama, kerja linier dan rutinitas belaka. Tegas Jokowi, semua pihak harus segera berubah. Termasuk dalam mereformasi birokrasi agar semakin sederhana, simpel dan lincah.

“Kita harus membangun nilai-nilai baru dalam bekerja, menuntut kita harus cepat beradaptasi dengan perkembangan zaman,” tegas dia.

Era MO

Pidato Jokowi berdurasi 24 menit itu, sarat makna. Founder Rumah Perubahan Rhenald Kasali punya komentar terkait isi pidato Jokowi.

Rhenald Kasali
Rhenald Kasali memperkenalkan istilah #MO

Menurut Rhenald, pidato Jokowi berkaitan dengan kondisi zaman yang sudah memasuki era mobilisasi dan orkestrasi atau yang dikenal #MO. #MO adalah mobilisasi dan orkestrasi melalui teknologi digital dengan mengoptimalkan enam pilar; super apps, artificial intelligence, big data, IOT, cloud, dan broadband network.

Maksud Rhenald, nyaris kesuksesan semua sektor, termasuk revolusi 4.0 dan reformasi birokrasi yang digaungkan Jokowi tidak lepas dari peranan teknologi.


“Ada kesadaran (Jokowi) terhadap revolusi industri 4.0 dengan enam pilar yang sudah di depan mata,” kata Rhenald yang merupakan pelopor pembaruan berpikir dan bertindak yang dibangun dengan kesadaran bahwa manusia adalah seorang transformator, kepada Medcom Files, Senin 15 Juli 2019.

Rhenald berharap reformasi birokrasi itu dapat sungguh-sungguh dijalankan. Pola pikir setiap aparatur negara harus berubah demi memastikan pelayanan publik yang prima.

“Jadi birokrasi jangan terpaku pada turunnya anggaran untuk mengorkestrasi kegiatan,” ujarnya

Di sisi lain, para aparatur juga harus mengoptimalkan dan banyak melibatkan kaum muda. Pasalnya, ‘dunia baru’ ini miliknya orang muda. Generasi tua hendaknya bisa bekerja dengan gairah inovasi kaum muda–yang lebih melek #MO.

Rhenald juga menyoroti pola pikir regulator dan penegak aturan. Mereka dianggap masih gagap ketika berhadapan dengan inovasi-inovasi yang muncul. Pula, banyak peraturan yang tidak adaptif terhadap hal-hal baru.

Mindset para penegak peraturan harus lebih open-minded. Jangan main asal hukum kalau ada yang belum sesuai. Regulator jangan sok tahu dan sok benar. Apa-apa main salahkan, main suruh ulang, main denda. Ini bisa menghambat daya inovasi dan keberanian menggunakan cara-cara baru,” bebernya.

Era MO
Regulasi dan teknologi mengikuti perkembangan zaman

Rhenald maklum dengan kinerja birokrasi yang cenderung lamban dan relatif miskin inovasi karena terbentur dengan peraturan yang berlaku. Bahkan mereka dalam melaksanakan tugasnya selalu menunggu petunjuk teknis dari atasan atau regulator.

Maka dari itu, ia berharap Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta sejumlah menteri teknis dapat berkolaborasi menghapus sekat-sekat. Baik sekat vertikal maupun horizontal. Rhenald juga sepakat dengan pernyataan Jokowi bahwa para menteri yang bertugas lima tahun ke depan adalah para pemberani. Mereka yang berani menggelorakan #MO.

Pertama, sekat vertikal yang membawahi penegakan hukum, perizinan, pemeriksaan, penyidikan dan pengawasan kepada pelaku-pelaku usaha. Hendaknya, kata dia, jangan biarkan diri mereka dikendalikan oleh pelaku-pelaku usaha atau kepentingan-kepentingan jadul.

“Kedua, horizontal, antarkelembagaan. Harus lebih kooperatif dan kolaboratif. Juga harus gunakan serba teknologi,” terangnya.

Tantangan

Rhenald juga mengagumi pidato Jokowi. Dia menilai, konten pidato Jokowi sangat strategis. Pernyataan visi Jokowi sebagai presiden terpilih, sangat berbeda dengan pidato-pidato politik lainnya.

“Tak ada jargon-jargon politik, melainkan mobilisasi energi manajerial untuk membawa bangsa ini keluar dari middle income trap. Mirip-mirip yang dilakukan Park Chung Hee di Korea Selatan,” ungkap Rhenald.

Namun ada hal yang mengganjal hati Rhenald. Yaitu ihwal power sharing (bagi-bagi kekuasaan) di republik ini yang terbagi-bagi secara luas. Di antaranya keberadaan komisi-komisi independen, partai politik yang kerap punya agenda sendiri dan akan menguasai kementerian. Misal, pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang lebih banyak diisi politisi serta kepemimpinan pusat dan daerah yang tak semuanya diisi orang-orang progresif.

“Padahal mereka semua harusnya bekerja dengan satu visi untuk membangun negeri,” tegas Rhenald.

Rhenald menyebut sejumlah negara yang berani melakukan #MO antara lain; Tiongkok, Estonia, Singapura, Jerman, Belanda dan India.

Singapore, salah satu negara yang menerapkan #MO

Penerapan #MO di sejumlah negara itu dinilai tidak sulit. Karena tak mengalami power sharing serumit di Indonesia. Mereka gilas civil society, tak ada pula beban diversity(perbedaan) dan kelompok-kelompok intoleransi.

“Maka kepala negara perlu gunakan strategi #MO. Mobilisasi opini dan kerja melalui teknologi, dan orkestrasi pekerjaan dengan melibatkan ekosistem kaum muda yang menyimpan energi besar perubahan,” tandasnya.

Keberanian

Di sisi lain, pidato Jokowi juga dinilai menggambarkan dirinya yang sesungguhnya. Terdengar sesekali nada-nada tinggi Jokowi selama berpidato. Seperti kata-kata ‘hajar’, ‘copot’ dan ‘bubarkan’ yang cukup sering muncul dalam pidatonya.

Tindakan itu menunjukkan Jokowi sebagai pemimpin yang memiliki keberanian. Terlebih, Jokowi tidak memiliki beban lagi sehingga dia tidak berpikir tentang dampak elektoral dari pidatonya.

Kata-kata menohok itu, barangkali, bisa diarahkan kepada orang atau kelompok yang melakukan pelanggaran terhadap hukum atau melakukan gerakan yang berlawanan dengan undang-undang serta dasar negara. Sebab, diketahui selama ini, ada indikasi bahwa di Indonesia terdapat kelompok yang coba membangun kekuatan untuk melakukan gerakan menggantikan dasar negara dengan ideologi tertentu.

“Jadi pidato yang keras Pak Jokowi adalah jawaban atas fakta empiris bangsa kita yang memiliki berbagai tantangan yang tidak mudah. Butuh ketegasan dan keberanian untuk menyikapi,” kata Peneliti Indopolling dan Direktur Nation and Character Building Institute Jakarta, Wempy Hadir kepada Medcom Files, Senin 15 Juli 2019.

Apalagi, lanjut Wempy, jika benar kelompok yang berhaluan anti-Pancasila ini sudah memasuki lembaga strategis negara. Tentu sangat berbahaya karena mereka bisa saja menggunakan jabatannya untuk membiayai gerakan. Dan yang paling parah adalah; jika terjadi kaderisasi pada setiap kementrian.

“Mereka bisa saja memiliki kader pada setiap kementerian, sehingga pada saatnya nanti mereka sudah bisa memiliki kekuatan yang dahsyat dan melakukan gerakan yang membahayakan eksistensi bangsa,” pungkas Wempy.

Artikel ini diterbitkan di Medcom.id oleh M. Rodhi Aulia pada tanggal 15 Juli 2019




 

Leave a Reply