#MO: Kapitalisme Era Kerumunan Virtual

RHENALD Kasali dijuluki Bapak Disrupsi Indonesia. Guru besar ekonomi Universitas Indonesia itu ilmuwan pertama Indonesia yang membahas perubahan besar-besaran industri era 4.0.

Dan, #MO bisa dibilang merupakan mahkota dari semua buku tentang disrupsi karya Rhenald. Buku ini terbagi 14 bab. Berisi dua tema utama: mobilisasi (tenik pemasaran era digital disruptif) dan orkestrasi (manajemen era digital disruptif).

Supaya pelaku dunia usaha tidak gagal paham. Agar dunia usaha bisa keluar dari perangkap The Main is No Longer The Main Income. Itulah esensi dari mobilisasi dan orkestrasi.

Rhenald bersama tim Rumah Perubahan merupakan penemu Bauran Mobilisasi Online (Online Mobilization Mix) yang disebut SHARE (Story, Hype, Actionable, Relevant, dan Emotional). Bauran Mobilisasi Online bisa digunakan untuk strategi pemasaran positif sekaligus menangkal kampanye dagang negatif.

Alibaba adalah salah satu super apps yang anatomi bisnisnya dibedah sebagai kasus heroik kapitalisme berbasis kerumunan virtual. Alibaba sukses mendapatkan penjualan terbesar sepanjang sejarah bisnis melalui Singles’ Day.

Program Sale Alibaba Single’s Day

Mobilisasi dan orkestrasi isu kaum jomblo mengasihani diri sendiri berhasil menciptakan hari besar belanja yang jauh lebih bertenaga keimbang Valentine’s Day. Singles’ Day Alibaba melibatkan pelapak dari 230 negara dengan omzet jumbo hanya dalam sehari. Singles’ Day merupakan hari belanja kaum jomblo di seluruh dunia. Hari ketika kaum jomblo bisa menghadiahi diri sendiri dengan memanfaatkan diskon belanja besar-besaran.

Gross merchandise volume (GMV) penjualan e-commerce Alibaba pada Singles’ Day 11 November 2017 (11/11) melonjak 3.000 kali dari GMV 2009. Dari USD 7,5 juta (2009) menjadi USD 25,3 miliar (2017). Pada dua menit pertama sejak sales dibuka, orang-orang Tiongkok mengorder belanja USD 1 miliar.

Fenomena itu membuat Amazon, pesaing Alibaba, terkesima. Di Amerika dibutuhkan 30 jam untuk menghasilkan penjualan sebesar itu melalui Prime Day Sales 2017.

Pada 2018, penjualan GMV melalui Alibaba selama Singles’ Day mencapai USD 30, 8 miliar dalam 24 jam. Penjualan senilai USD 1 miliar terjadi pada menit pertama. Melibatkan 180 ribu merek dari seluruh dunia. Termasuk barang-barang buatan Amerika dan Eropa.

Singles’ Day dimobilisasi 180 ribu vendor melalui komunikasi sharing-shaping. Lancome, Olay, Estee Lauder, L’Oreal, dan produk-produk Jepang maupun Korea ketiban rezeki nomplok. Produsen-produsen non-Tiongkok kebagian penjualan USD 14,4 juta dalam sehari. Jepang, USA, Korea, Australia, Jerman, UK, Prancis, Spanyol, Selandia Baru, dan Italia merupakan sepuluh negara asal produk yang menempati penjualan teratas. Dari Indonesia, produk yang dipasarkan, antara lain, Indomie.

Memanfaatkan Kerumunan ala Alibaba

Rhenald pernah berkunjung ke markas besar Alibaba. Ia bertemu dengan para tokoh kunci raksasa bisnis Tiongkok itu. Mengatasi kemiskinan yang ada di wilayah pedesaan. Itulah tujuan bisnis Alibaba.

Di perbukitan kebun teh Longjing, Hangzhou, Tiongkok, pedagang buah pikulan menjajakan plum. Timbangan yang dipakai sangat simpel. Tak ubahnya pensil tipis yang diberi bandulan pemberat timbangan. Pikulan dan timbangannya konvensional. Tapi, alat pembayarannya menggunakan fintech Alipay. Cukup dipindai dan diklik saja. Transaksi terjadi.

Kebun teh Longjing mashyur sejak 3 abad lalu. Teh hijau Longjing dikenal sebagai minuman keluarga kaisar dan biksu Tiongkok yang tak boleh minum arak beralkohol. Popularitas menyebabkan Longjing dijuluki Teh Sumur Naga. Kualitas terbaiknya dibeli kantor Perdana Menteri China untuk suvenir bagi para tamu negara.

Harga satu kaleng teh berkualitas prima 200 yuan atau sekitar Rp 412 ribu. Di Indonesia, teh dengan kualitas sama dijual petani Rp 5.000 hingga Rp 10.000 untuk berat yang sama. Narasinya tidak ada.

Hangzhou menjadi tersohor tidak sekedar karena teh, tapi kini karena Jack Ma

Akibat dari narasi keberhasilan Alibaba

Teknologi juga belum menyentuhnya. Berbeda dengan produk pertanian yang dijual untuk petani di Tiongkok, London, atau Paris. Selalu ada narasi (story) yang impresif. Seperti legenda tentang teh sumur naga, sejarah para biksu, dan hadiah untuk tamu negara dari kantor PM.

Hangzhou menjadi tersohor bukan berkat teh hijaunya semata. Melainkan sebagai tempat Jack Ma memulai kerajaan bisnis bersama dengan 18 muridnya pada 1999.

Di kota itu pula kampus Alibaba menyebarkan teladan dan spirit tentang connected society yang mengubah kehidupan dan menyejahterakan ekonomi pedesaan. Ada mobilisasi narasi dan orkestrasi oleh plaftform penggerak.

Alibaba menerapkan strategi Mobilisasi dan Orkestrasi. Ia memobilisasi pemakaian teknologi guna mempertemukan supply dengan demand. Masyarakat sejahtera berkat human capitalism melalui crowd-based platform. []

Resensi dari J. Sumardianta (Guru SMA Kolese De Britto Jogjakarta) yang dimuat di Jawa Pos tanggal 29 September 2019

Leave a Reply