Deep Understanding : Kemampuan yang Hilang dalam Pendidikan Kita

Tulisan pendek dari Rhenald Kasali dalam buku Strawberry Generation 

Salah  satu  teka-teki  yang  masih  saya  ingin  tahu  jawabannya—sepanjang  25  tahun  lebih  menjadi  pendidik adalah  mengapa  anak-anak  kita  kesulitan  mengungkapkan isi  pikirannya?

Belajar untuk Memahami

Maksud  saya, kalau diberi pertanyaan,  kok jawabannya pendek sekali dan ingin cepat-cepat selesai. Selain tidak argumentatif, terasa miskin dalam konsep. Di Harvard, Michael Porter, guru besar ilmu manajemen terkemuka yang menularkan metode pengajaran partisipatif, pernah memberi tahu resepnya. “Ajukan cold call, tunjuk seseorang secara mendadak, lalu gali perlahan-lahan. Mereka mungkin kurang siap, tetapi buatlah sebersahabat mungkin agar mereka nyaman berbicara.”

Saya pun menerapkannya dan ternyata hanya berhasil pada tingkat pendidikan S-2 dan S-3. Pada tingkat S-1, saya butuh waktu banyak sekali untuk menggali dan mengeluarkan isi pikiran mahasiswa saya. Kalau dikejar lebih jauh, mereka  menjawab seragam: “Ya, gitu deh!” Kalau sudah mentok, keluarlah jargon asyiknya: “Au ah, gelaap …”

Namun, saya tidak menyerah. Sampai di pertengahan semester, satu per satu mulai berani memberi jawaban yang agak panjang, lebih panjang, lebih menyatu, dan sistematis. Di situlah letak kebahagiaan seorang pendidik, yaitu saat anak-anaknya mendapatkan apa yang disebut  deep understanding.


Kemampuan  seorang anak   menangkap   hubungan-hubungan   yang   kompleks dalam sebuah teori atau konsep itulah yang kita sebut sebagai deep understanding

Jadi, bukan sekadar tahu banyak hal, tetapi pemahamannya tidak mendalam. Bukan hanya menguasai permukaan-permukaaan yang ngepop atau sekadar fragmented pieces of information.

Deep understanding sangat diperlukan dalam dunia pendidikan dan untuk itulah seorang guru dituntut untuk bersabar dan memeriksa apakah betul murid-muridnya sudah paham dan bisa mengerjakannya.

Pendidikan seperti itulah yang dirindukan anak-anak kita. Guru yang bijak tahu persis bahwa otak manusia memerlukan waktu untuk merangkai satu elemen dengan elemen-elemen lain. Ibarat membuat kue lapis legit, harus dengan penuh kesungguhan, dari selapis tipis yang satu ke lapisan tipis berikutnya.

Disebuah sekolah di Jepang, saya menemukan sebuah buku pedoman belajar dengan 7 pilar, yaitu berpengetahuan dengan “deep understanding”, mampu berpikir kompleks dan menjadi pemecah masalah, kreatif tetapi reflektif, menjadi kontributor yang bertanggungjawab, termotivasi dan terkendali, independen tetapi interdependen, dan mampu menjadi komunikator yang efektif.

Tujuh pilar tersebut merupakan kata-kata kunci di banyak sekolah di negara-negara maju bahwa melahirkan orang kreatif saja tidak cukup, tetapi juga harus menjadi kontributor yang bertanggungjawab dan reflektif.

Saya tidak tahu jawaban yang harus diberikan untuk membuat seseorang menjadi hebat, tetapi mungkin saya tahu kunci kegagalan yang akan dialami bangsa ini. Yaitu, saat kita merasa bangga dengan banyak pelajaran yang kita dapatkan, padahal semua itu hanya kulit-kulitnya. Hanya sepotong-potong, miskin pendalaman, dan tidak reflektif

Leave a Reply