Figur-Figur “Pancasilais” di Sekitar Kita

Banyak orang sudah bicara tentang Pancasila, nilai-nilai dan prinsip-prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila. Pancasila selalu diasosiasikan dengan hal-hal positif, yang patut dipuji, diteladani, dibela, dan diperjuangkan. Namun itu saja ternyata belum cukup. Yang sering ditanyakan, adakah figur-figur konkret, orang yang bisa kita teladani sebagai “wujud hidup” yang memancarkan “ke-Pancasila-an atau Pancasilais?”

Mencari Figur Pancasilais

Celakanya, justru dalam aspek semacam ini kita sering merasa kekurangan. Sama sulitnya menunjukkan contoh konkret “ekonomi Pancasila.” Orang bisa dengan mudah menunjukkan contoh praktik ekonomi kapitalis atau ekonomi sosialis. Namun, mereka agak tergagap jika diminta menunjukkan contoh konkret ekonomi Pancasila, di negara yang secara formal berideologi Pancasila!

Buku karya Yudi Latif ini mengisi kekosongan dan kelangkaan semacam itu. Seperti dikatakan Yudi sendiri dalam pengantar bukunya, buku ini digagas “untuk merespons keluhan banyak orang tentang krisis keteladanan serta kesulitan untuk mengajarkan dan menyosialisasikan moral Pancasila bagi kalangan pelajar, penyelenggara negara, para politisi dan aktivis kemasyarakatan serta masyarakat umum.”

Dalam bukunya, Yudi tidak bicara tentang hal-hal normatif atau ajaran-ajaran muluk yang mengawang-awang. Sebaiknya, Yudi berusaha memberi contoh-contoh yang “membumi” tentang sikap, pandangan, perilaku, dan aspirasi dari orang-orang Indonesia yang –menurut pandangan Yudi—mewakili teladan yang “Pancasilais.”

Boleh jadi figur-figur “Pancasilais” itu hadir dan berseliweran di sekitar kita, tetapi entah mengapa kita gagal menyadari kehadiran mereka.

Yang membuat kita tertegun, ternyata contoh-contoh yang dipaparkan Yudi dalam buku yang lumayan tebal ini cukup banyak. Bahkan ada sejumlah tokoh yang karena keteladanannya sebetulnya layak ditampilkan, tetapi sengaja tidak dimasukkan di buku ini. Pertimbangannya, karena representasi dari kategori (golongan) tertentu yang terkait dengan tokoh itu dianggap sudah terwakili. Dalam memilih tokoh, masalah keterwakilan ini memang diperhatikan oleh tim penulis.

Kembali ke soal krisis keteladanan, jika kita menyimak tokoh-tokoh yang ditampilkan di buku ini, figur-figur “Pancasilais” itu sebenarnya tidaklah selangka yang dibayangkan orang. Boleh jadi figur-figur “Pancasilais” itu hadir dan berseliweran di sekitar kita, tetapi entah mengapa kita gagal menyadari kehadiran mereka.

Jika tim penulis memasukkan Soekarno dan Hatta, tokoh proklamasi kemerdekaan Indonesia, sebagai tokoh teladan, tentunya tidak mengherankan. Namun banyak tokoh lain dalam sejarah Indonesia yang menunjukkan sifat ketulusan, kejujuran, kesederhanaan, memegang amanah, dan karena itu layak dikategorikan sebagai Pancasilais.

Baca juga Teladan Wawasan Pancasila

Hal yang patut dipuji dalam menuliskan keteladanan tokoh-tokoh yang ditampilkan di buku ini justru adalah kejujuran tim penulis, untuk mengakui ketidaksempurnaan tokoh-tokoh tersebut. Yudi mengakui, bahkan tokoh-tokoh yang berkategori “Pancasilais” ini juga bukan manusia sempurna. Karena kepedulian buku ini adalah soal keteladanan, maka tokoh-tokoh yang dimunculkan hanya dilihat sisi baiknya. Tentu, setiap orang memiliki sisi buruk. Maka buku ini tidak ingin mengajak pembaca untuk memuja secara berlebihan atau mengultuskan tokoh tertentu, namun cukuplah meneladani sisi baiknya, seraya menghindari sisi buruknya.

Selain itu, arti penting kehadiran buku ini bukan sekadar memberi wacana, tetapi juga bisa memberi manfaat praktis bagi para motivator, pendidik, atau guru, dalam proses belajar-mengajar. Misalnya, kisah-kisah teladan dalam buku ini bisa dibacakan di dalam kelas dan kemudian pesan-pesan moralnya dijadikan bahan diskusi.

Peserta belajar bisa diminta mencari kisah-kisah sejenis, atau melakukan permainan peran (role play) dari kisah-kisah di buku ini. Hal itu dilakukan sebagai bagian dari proses pendalaman dan penghayatan keteladanan. Singkat kata, buku yang menggunakan gaya bahasa komunikatif dan sederhana ini sangat layak dibaca, khususnya bagi generasi muda yang haus keteladanan.

#Resensi Mata Air Keteladanan, buku dari Yudi Latif

(Satrio Arismunandar)
Jakarta, 26 Maret 2014
Tulisan ini dimuat dalam Majalah AKTUAL dan www.aktual.co

Leave a Reply