Dari Agensi ke Korporasi: Tantangan Baru untuk Mempertahankan Kreativitas

Tak mengherankan jika 86 persen responden dari riset The new organization: Different by design yang dirilis Deloitte memandang kultur sebagai salah satu elemen terpenting dalam perusahaan. Di sisi lain, survei konsultan sumber daya manusia Robert Walters Asia juga menemukan bahwa ketidaksesuaian dengan kultur perusahaan masuk dalam lima alasan tertinggi yang mendorong karyawan mengundurkan diri.

Integrasi dan fleksibilitas. Dua hal dalam kultur perusahaan inilah yang disebut Manager Digital Activation PT HM Sampoerna Tbk., Abe Vikra, banyak mewarnai aktivitasnya bersama tim selama empat tahun terakhir.

Kepada Tech in Asia, Abe menceritakan pengalamannya dalam masa transisi dari bekerja di agensi dan berpindah ke korporasi. Penuturan Abe sekaligus membuka diskusi mengenai berbagai hal menarik tentang bagaimana ia bergabung bersama korporasi ini.

Bergabung dengan PT HM Sampoerna Tbk. sejak empat tahun silam, Abe memiliki banyak pengalaman di ranah digital dan kreatif. Sejak lulus dari Fakultas Komunikasi Universitas Padjajaran pada 2008, pria yang tak ragu menyelipkan tawa dalam bicaranya ini telah malang-melintang dan melakoni berbagai peran di agensi.

Tantangan Transisi ke Korporasi

Saat ini Abe bertanggung jawab dalam segala hal terkait konten untuk aktivasi digital. Bersama tiga executive dalam timnya, Abe bekerja sama dengan beberapa pihak menggarap konten-konten kreatif untuk audiens.

Bergelut di agensi selama lebih dari enam tahun, Abe pun pernah beranggapan bahwa korporasi identik dengan peraturan yang kaku. Hal ini bermula dari kesan pertamanya pada kewajiban mengenakan seragam di PT HM Sampoerna Tbk.

It’s not about how you look, tetapi yang terpenting adalah karya yang bisa kita bawa,

Abe Vikra

Anggapan Abe terpatahkan ketika ia mulai bekerja di perusahaan ini. Berkebalikan dengan stigma yang berkembang mengenai korporasi, penggemar otomotif dan musik ini justru menemukan fleksibilitas. Hal ini ia ceritakan, misalnya, dalam hal penampilan dan interaksi antarkaryawan.

Menyoal penampilan, Abe bercerita, ketika ia harus berkegiatan di luar kantor mengenakan seragam kemeja berlengan pendek, banyak mata yang memperhatikan lengannya. Di kesempatan lain, ketika berbagi pengalaman di suatu forum terbuka, pertanyaan orang-orang lebih banyak yang menyoroti peraturan perusahaan tempatnya bekerja daripada best practice pekerjaan.

Menurut Abe, wajar jika stigma kaku masih menempel pada kantornya, karena perusahaan ini telah dirintis sejak seratus tahun yang lalu. Namun, ia menyadari, perusahaan yang telah berdiri lama bukan berarti bahwa budayanya tak ikut berkembang. Kultur perusahaan dapat berubah seiring dengan tujuan perusahaan.

Saat ini, PT HM Sampoerna Tbk. menjalankan kultur Thrive untuk mendukung perubahan internal, yang juga menjadikan inklusi sebagai salah satu kekuatan budaya perusahaan. Perusahaan merayakan keberagaman dan menjadikannya kekuatan dalam menghadapi berbagai tantangan.

Kolaborasi dan Ruang Berkreasi Untuk Hadapi Tantangan

Abe melanjutkan, tantangan yang ia hadapi bisa datang dari mana saja, salah satunya dari para kompetitor yang merupakan salah satu tantangan eksternal. Solusinya, Abe menekankan kepada timnya untuk tidak memandang pesaing sebagai lawan bisnis.

Abe berpikiran bahwa kompetitor PT HM Sampoerna Tbk. tidak hanya industri dengan produk serupa. Menurutnya, tim harus memiliki pemahaman bahwa ranah kompetitor akan terus meluas seiring dengan perkembangan era digital. 

Sementara, Abe mengakui tantangan internal kebanyakan datang dari timnya sendiri. Misalnya, bagaimana Abe beradaptasi dan memahami apa yang dibicarakan para anggota tim di waktu senggang. Abe paham betul, bahwa ialah yang harus lebih banyak beradaptasi sebagai people manager

Untuk itu, Abe menyarankan manajer untuk memahami topik apa saja yang sedang jadi tren dan diobrolkan oleh rekan-rekan dalam tim. Meski tampak kecil, interaksi semacam ini penting, karena pekerjaan di ranah digital kreatif membutuhkan banyak kolaborasi.

Kolaborasi juga menjadi salah satu kultur yang penerapannya sangat dirasakan oleh Abe dalam mengelola timnya. Ketika tim memahami tujuannya, di mana pun mereka berada, kolaborasi akan membantu mereka dalam mengeksekusi ide-ide kreatif.

Ruang Kerja yang Ceria di Sampoerna

Abe menambahkan, jika memberikan kepercayaan penuh kepada timnya, di kemudian hari mereka akan terpacu untuk bereksplorasi lebih banyak–yang tentunya berdampak positif pada kinerja mereka.

Hal ini juga dicontohkan Abe pada bagaimana ia dan tim melakukan brainstorming. Menyebut caranya agak “out of the box”. Mereka sering kali memulai brainstorming dari membaca buku, menonton film, hingga mendengarkan musik, yang berakhir dalam diskusi. 

Penerapan kultur ini juga memberikan kesempatan kepada tim untuk bekerja remote–tak harus berada di kantorAbe tak menampik jika bekerja remote kini menjadi kebutuhan yang harus didukungmisalnya ketika karyawan tak bisa ke kantor karena adanya keperluan pribadi yang mendesak. 

Karakter Talenta di Era Digital

Seluruh elemen digital marketing, termasuk menyajikan konten yang menarik, semuanya adalah dampak digitalisasi yang terus berkembang dari tahun ke tahun. Dengan demikian, semua anggota dalam tim digital tak mungkin mengklaim hasil pekerjaannya lebih baik dari yang lain.

“Nyawanya digital adalah integrasi. Enggak boleh satu orang yang paling jago. Semuanya sama rata. Satu fungsi hidup, hidup semua. Satu fungsi mati, mati semua,” tandasnya.

Lambat laun, Abe menyadari adanya tantangan ketika ia memutuskan bergabung dengan korporasi ini. Tetapi, penggemar Steve Jobs dan sutradara George Lucas ini paham bahwa tantangan  yang ada tak selalu menghalanginya dalam mengeksekusi ide kreatif. 

Salah satu tantangan tersebut adalah peraturan menciptakan konten. Ia menegaskan kepada timnya untuk memahami seluruh peraturan. Alhasil bagi Abe dan timnya, peraturan justru menjaga kreativitas mereka untuk menciptakan konten yang menarik bagi audiens namun tetap bertanggung jawab.

Menurutnya, adaptif terhadap segala perubahan saja tidak cukup. Lebih dari itu, menjadi orang yang terus merasa haus akan wawasan dan ilmu akan menuntun mereka sebagai talenta yang dibutuhkan di era digital.

“Orang yang merasa sudah jago, enggak akan bertahan lama. Jadi, setiap hari aku datang ke kantor, aku bodoh,” pungkasnya.

Sumber : Artikel ini diterbitkan oleh Tech in Asia dan ditulis oleh Ainun Nadhifah

Leave a Reply